Seorang anak perempuan berusia lima tahun menangis sambil berteriak-teriak dan berbicara kotor di halaman salah satu Taman Kanak-Kanak. Teman-temannya mengerumuni, seorang guru berusaha membujuk sambil memeluknya, namun anak tersebut malah meronta-ronta histeris.
Melihat keadaan ini sang guru segera menelepon orangtua anak tersebut dan menceritakan keadaannya. Mendengar perilaku anaknya, Sang ibu segera datang ke sekolah. Dengan nada keras ia menghardik dan menarik tangan si anak dengan kasar. Seketika itu pula si anak berhenti menangis.
Sedangkan guru dan teman-temannya terpaku melihat kejadian tersebut dengan saling berpandangan keheranan. Di sini kita melihat kepatuhan anak yang diiringi dengan ketakutan.
Seberapa efektifkah sebuah kepatuhan yang dilandasi ketakutan tersebut akan bertahan? Yang jelas terjadi perlakuan kasar yang dipertontonkan orang dewasa pada anak. Apakah cara orangtua seperti cerita di atas dapat merubah karakter anak? Tentu jawabannya perlu kita renungkan kembali.
Menghentikan tangisan dengan hardikan dan kekerasan fisik dari orang dewasa memang efektif untuk sesaat. Namun untuk merubah suatu keadaan atau menyelesaikan akar masalah dari penyebab menangis tersebut tidak tergali. Hardikan seorang ibu kepada anak tadi, sungguh memprihatinkan. Pepatah mengatakan “Buah jatuh tidak jauh dari batangnya”.
Perilaku orangtua merupakan role model yang dilihat dan didengar oleh anak. Pada kejadian tersebut bukan hanya buah hatinya yang melihat dan mendengar namun seluruh anak TK yang mengerumuni anak tersebut juga mendengar dan melihat. Sebuah peristiwa yang sangat memprihatinkan dalam pendidikan karakter.
Imam Alghozali dalam Ulwan (1999:194) memberikan nasehat kepada kita semua sebagai orangtua dan pendidik, “anak itu amanah Allah bagi kedua orangtuanya, hatinya bersih bagaikan mutiara yang indah bersahaja, bersih dari setiap lukisan dan gambar. Ia menerima setiap yang dilukiskan, cenderung ke arah apa saja yang diarahkan kepadanya.
Jika ia dibiasakan belajar dengan baik ia akan tumbuh menjadi baik, beruntung di dunia dan di akhirat. Kedua orangtuanya, semua gurunya, pengajar dan pendidiknya sama-sama mendapat pahala. Dan jika ia dibiasakan melakukan keburukan dan diabaikan sebagaimana mengabaikan hewan, ia akan celaka dan rusak, dan dosanya menimpa pengasuh dan orangtuanya”.
Dorothy Law Nolte dalam Puisi Legendarisnya yang berjudul Children Learn What They Live mengatakan “If children live with criticism, they learn to condemn”. Maksud dari kata bijak ini adalah jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Untuk itu orangtua harus mempunyai banyak ilmu pengasuhan dalam mendidik anak, karena orangtua adalah guru pertama dan utama. Orangtua juga sebagai teladan (Role model) yang sangat efektif untuk dicontoh.
Dari dua pendapat diatas dapat diambil kesimpulan betapa pentingnya peran orangtua sebagai pendidik utama dalam pendidikan karakter. Untuk itu trisentra pendidikan yang digulirkan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah sangat relevan.
Demikian juga ajaran beliau tentang karakter dan keteladanan, yaitu “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Yang artinya di depan memberi teladan, di tengah memberikan bimbingan dan dibelakang memberikan dorongan.
Sekolah adalah model dan implementasi penguatan pendidikan karakter.
Program pendidikan keluarga yang digulirkan pemerintah sebagaimana Permendikbud No 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan merupakan usaha pemerintah dalam melibatkan orangtua pada satuan pendidikan.
Dengan program ini diharapkan terjadi sinkronisasi antara pendidikan di rumah dengan pendidikan di sekolah serta lingkungan di rumah. Keteladanan bukan hanya tuntutan bagi pendidik di sekolah saja, namun juga kewajiban orangtua di rumah dan masyarakat di lingkungan.
Sinkronisasi dan konsistensi dari orang dewasa di sekitar anak dalam membagi karakter mulia adalah sebuah keharusan karena karakter tidak dapat diajarkan, tetapi dapat dialirkan melalui keteladanan. Sebuah kata hikmah yang mengatakan “Satu perbuatan lebih utama dari ribuan kata”.
Hal ini menunjukkan bahwa nasehat baru bisa memiliki makna dan diterima anak, apabila mereka mengetahui bahwa orangtua atau pendidik yang menasehatinya memang layak menjadi teladan dalam kebaikan.
Semakin terang benderanglah bahwa masyarakat sebagai bagian dari penyumbang pendidikan karakter, mempunyai posisi yang sangat strategis, di mana lingkungan sekitar mempunyai kontribusi yang sama dengan peran pemerintah dalam hal ini sekolah.
Untuk itu perlu kiranya orangtua menyiapkan lingkungan yang aman bagi pendidikan karakter putra-putrinya dan yang lebih utama memberikan teladan yang baik untuk bekal mereka di masa depan.(***)