in

Ketika Ku Hampir Jadi Menjadi Ibu

Bukan suatu kebanggaan sebenarnya

Aku coba membeli alat tes kehamilan. Takut sebenarnya diri ini. Dan ternyata dua garis merah itu muncul. Aku tak tahu harus berbahagia atau begitu malu. Aku coba periksa ke dokter kandungan, Ternyata hasilnya sudah dua bulan. Aku bingung harus seperti apa. Bukan karena anak ini tidak mempunyai ayah namun, karena hasil hubungan yang belum sah.
Aku berpikir bahwa apa aku sembunyikan semua termasuk pada ayahnya. Karena, aku tahu dia tidak akan siap. Jangankan punya anak, menikah denganku saja Ia ragu. Tapi makin hari ku sembunyikan, tanda-tanda kehamilan itu tak bisa aku bungkam kan dari dia karena aku satu atap haram dengannya.

Aku bilang, “Aku Hamil”

Dia hanya meragukan cerita ku. karena aku tak pernah membuktikan kehamilan itu. Dia sendiri tak pernah menyuruh ku membuktikan karena dia percaya dengan tanda-tandanya. Aku semakin manja padanya. Aku seperti menginginkan sesuatu dan haru bergegas di berikan. Dia sering marah kepadaku. Katanya dia terima, tapi seakan tak segan. Aku berpikir bagaimana selanjutnya. Apa harus aku bunuh anak ini, apa harus aku per tahankan? tapi dengan adanya anak ini, aku seakan mendapat perhatian lebih darinya. Aku selalu tidur dengan nyenyak jika dia mengelus perutku. Aku tahu dia muak dan aku sebenarnya juga tak mau gara-gara anak ini aku akan kehilangan cinta darinya.
Saat aku pergi toko pakaian anak, aku selalu membayangkan bila anakku hamil, seperti apa wajahnya, seperti apa tingkah lucunya. Namun dari situ aku ketakutan, apa orang tuaku akan menerima keadaan ku yang berbadan dua? Kekasihku selalu mempertanyakan apakah anak ini di bunuh atau di jaga. Kadang aku berpikir untuk membunuhnya, namun aku sudah terlanjur menyayanginya

Sampai akhirnya aku harus memutuskan untuk menggugurkanya

Bukan tanpa alasan. Bagaimana aku bisa menjaga anak itu tanpa peran dari seorang ayah? bagaimana jika nanti anakku tumbuh besar dan menanyakan ayahnya? pastinya dia tahu bahwa dia buka layaknya Nabi Isa a.s. Dan dia pergi karena menuduh ku hamil dengan pria lain dan menganggap ku tidak hormat lagi. Aku begitu hancur. Aku kira setelah mengetahui ku hamil, jalan ku menjadi istri sah nya akan lebih mudah. Aku harus kehilangan anak itu, dan juga kehilangannya.
Aku hampir gila. Mengapa semua begitu tak adil bagiku. Aku tak mengira juga akan kehilangan dirinya. Aku setengah hidup. Dengan perut yang masih begitu terluka. Aku adalah calon ibu yang gagal. Entah lebih baik mana, menjadi calon ibu yang gagal atau menjadi ibu yang gagal? seharusnya jika anak itu aku bisa pertahankan, pasti tahun depan ada yang mengucapkan “Selamat hari Ibu” padaku dan mengucapkan “Selamat hari Ayah padanya”
by~ryang okzha

kamu juga bisa menulis karyamu di vebma,dibaca jutaan pengunjung,dan bisa menghasilkan juta rupiah setiap bulannya,

What do you think?

Written by Julliana Elora

BERITAPAGI – Sabtu, 23 Desember 2017

GPA Tolak Himne Aceh Hasil Sayembara DPRA