JAKARTA (Berita) Ketua Tim Pengawas Tenaga Kerja Indonesia (Timwas TKI) DPR RI Fahri Hamzah menyebutkan permasalahan krusial pengiriman TKI yang disinyalir mengarah pada perdagangan manusia dikarenakan dalam perekrutan dan penempatan, TKI semata-mata hanya dipandang sebagai objek dan tidak diperlakukan sebagai subjek manusia Indonesia yang bermartabat.
Calon TKI tampak hanya sebagai objek yang bisa dipermainkan terutama terkait dengan identitas formalnya. Data-data terkait calon TKI mudah sekali diakali bahkan dipalsukan.
Konsep digital identity atau e-KTP yang semestinya menjadi pemecah masalah , menurut Fahri , ternyata sampai saat ini implementasinya jalan di tempat.
Dampaknya, proses perekrutan calon TKI terindikasi banyak menyalahi prosedur dan standar kualifikasi calon TKI. Seharusnya, sebut Fahri, basis data yang integral dan terdigitalisasi diharapkan bisa memotong mata rantai permasalahan TKI illegal atau undocumented.
“Jika rakyat tidak punya identitas yang baku atau digital maka rakyat akan mudah diperjualbelikan sebagai barang dalam pasar tenaga kerja”, tandas Fahri Hamzah saat memimpin rapat dengar pendapat dengan Institusi yang terkait langsung dengan penempatan TKI di luar negeri, diantaranya Konsulat Jenderal Hongkong, Sestama BNP2TKI (eks Wakil Dubes RI untuk Malaysia), Perusahaan Penyalur Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), dan LSM Lingkar Aku Cinta Indonesia (LACI).
Di sisi lain, lanjut Fahri dalam relisnya yang diterima redaksi Rabu (8/2) di Jakarta, pelaku bisnis pengiriman TKI, baik yang legal maupun tidak legal, menganggap identifikasi dan kualifikasi TKI terlalu mahal biayanya (costly) dan mereka harus saling bersaing menekan biaya.
” Di sinilah akhirnya muncul problem TKI di negara penempatan, baik masalah ketrampilan yang dibawah standar maupun TKI ilegal (undocumented workers) yang mengarah pada perdagangan manusia,” tandasnya.
Menurut data BNP2TKI, dari sekitar 2,5 juta buruh migran ilegal di Malaysia, separuhnya berasal dari Indonesia (TKI undocumented).
Potensi masalah yang terjadi, khususnya di Malaysia ini, ternyata menjadi big business bagi pelaku lain penempatan TKI illegal.
Disinilah muncul lahan pelaku bisnis yang mengambil peluang dalam mengurus dokumen kepulangan TKI atau mengurus transportasi TKI.
Berdasarkan informasi, nilainya mencapai puluhan milyar pertahun. Bisnis ini tentu menjadi sumber masalah baru yang dihadapi oleh TKI kita. Karena selain TKI dipungut biaya yang tidak standar, juga dihadapkan pada resiko yang tidak terjamin. Tenggelamnya kapal yang mengangkut TKI di perairan Batam yang menewaskan 47 TKI beberapa bulan belakangan ini menjadi salah satu bukti nyata praktek pengiriman TKI ilegal ini paparnya.
Dalam upaya menuntaskan Revisi UU Penempatan dan Perlindungan TKI Luar Negeri (UU PPTKILN), tentu permasalan yang krusial dalam penempatan TKI ini harus terakomodasi terutama pembenahan sistem yang lebih terdigitalisasi sehingga data-data calon TKI maupun TKI yang berada diluar negeri dapat terpantau secara real dan updated. Terkait dengan ini, pemerintah harus mempercepat program e-KTP ini dan tdak boleh menunda dengan alasan apapun. Pembenahan sistem ini tentu juga harus dididukung oleh perbaikan dan penguatan institusi dan sumber daya manusianya, tutup Fahri Hamzah yang juga Wakil Ketua DPR RI Bidang Korkesra ini. (Aya)