Menjelang bulan suci Ramadhan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengundang stakeholders penyiaran termasuk stasiun televisi pada Jumat, 21 April 2017 di KPI. Agendanya menyamakan pandangan dan persepsi berkaitan siaran tayangan Ramadhan yang sejalan dengan nilai-nilai kesucian bulan Ramadhan.
Program siaran televisi memberi kemanfaatan publik dan menguatkan jati diri bangsa. Dalam acara tersebut Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid diberikan ruang khusus sebagai keynote speech untuk memberikan pandangannya berkaitan konten siaran yang baik menyambut bulan Ramadhan. Beberapa hal disampaikan Hidayat Nurwahid tentang program siaran Ramadhan yang dapat meningkatkan spiritualitas manusia, isi siaran yang mencerminkan watak dan jati diri bangsa, menjaga kebhinekaan, dan mengokohkan rasa kebangsaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Janganlah konten layar kaca diisi siaran yang sia-sia maupun hiburan yang tidak mendidik. Candaan kasar dan banyolan berlebihan, mengumbar aib orang lain, dan konflik rumah tangga, mengangkat tema agama yang menyulut polemik di masyarakat, dan adegan yang mengeksploitasi bagian-bagian tubuh tertentu mesti dihindari ditayangkan pada saat Ramadhan.
Selama Ramadhan konten siaran hendaknya dapat meningkatkan keimanan, ketakwaan, serta mengharap rahmat dan pengampunan dari Allah SWT.
Rasulullah mengatakan, “Siapa yang berpuasa Ramadhan semata-mata karena keimanan, serta mengharap rahmat dan pahala dari Allah, maka dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya akan diampuni oleh Allah.” (HR Bukhari dari Abu Hurairah).
Sesungguhnya hal tersebut sejalan dengan salah satu arah UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, yakni menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama, serta jati diri bangsa.
Tantangan Siaran Ramadhan
Berkaitan dengan siaran Ramadhan, hasil survei indeks kualitas program siaran KPI bersama Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dan perguruan tinggi tahun 2015 dan 2016 menunjukkan keunikan. Menjelang Ramadhan hasil survei KPI menunjukkan program siaran memperoleh angka 3, masih di bawah standar kualitas angka 4. Namun, saat Ramadhan program siaran (keagamaan) hampir memperoleh angka 4, bahkan ada yang mendapatkan nilai 4 berkualitas. Namun setelah Ramadhan, kualitas program siaran kembali menurun di angka 3.
Menjaga kualitas siaran sesuai moralitas dan jati diri bangsa membutuhkan komitmen kuat pemangku kepentingan penyiaran, khususnya lembaga penyiaran. Hal ini menyangkut idealisme yang kerap tarik menarik dengan pragmatisme dalam dinamika industri penyiaran. Sudah bukan rahasia umum lagi jelang puasa atau tatkala Ramadhan berbagai simbol-simbol agama kesannya hanya dijadikan komoditi untuk memperoleh kepentingan ekonomi. Dikhawatirkan adanya komersialisasi agama di televisi melalui berbagai format acara TV seperti sinetron, iklan, ceramah (tausiyah), dan bentuk program keagamaan lainnya.
Televisi merupakan industri budaya ditandai oleh proses industrialisasi dari budaya yang diproduksi secara massal serta memiliki imperatif-imperatif komersial. Sehingga, proses yang berlangsung dalam industri budaya ini adalah: komodifikasi, standarisasi, serta massifikasi (Kellner, 1995). Walhasil, semua jenis barang dan tontonan menjadi sekadar sebagai entitas dagangan yang memang diarahkan untuk tujuan-tujuan komersialisme.
Praktik industrialisasi televisi berkaitan dengan tujuan ekonomi. Mansell (2004) mengatakan, di manapun media hadir pasti berkaitan dengan motif ekonomi-politik. Namun, apakah motif ekonomi, komersialisasi agama dianggap biasa terjadi ketika Ramadhan? Apakah kemudian nilai-nilai kebangsaan dikesempingkan hanya karena tujuan materi?
Menjadikan agama di televisi semata berorientasi pada profit justru mengurangi fitrah dan kesakralan agama. Subtansi ajaran agama kabur akibat bias-bias agama di televisi. Program keagamaan diproduksi ala kadarnya, asal menghibur penonton. Yang dikejar rating karena memiliki relasi ekonomi. Kepentingan bangsa diabaikan.
Apa jadinya bulan puasa dan nasib negeri ini jika masyarakat disuguhkan tayangan goyangan mengarah pada eksploitasi bagian-bagian tubuh tertentu. Menampilkan candaan yang mengolok-olok kekurangan orang lain, menggangu privasi orang lain yang mengarah pada ghibah dan merendahkan harkat, serta martabat manusia. Akibatnya, fungsi sosial, budaya, pendidikan, perekat dan kontrol sosial media dikesampingkan. Hak warga memperoleh informasi yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan jadi berkurang.
Merawat Ruang Bersama
Menjaga ruang bersama dan saling menghormati merupakan kata kunci dipegang oleh semua kalangan, tidak terkecuali bagi industri media (baca: TV). Apalagi televisi yang memiliki pengaruh luas di masyarakat.
Menjaga inti puasa yakni beribadah kepada Allah SWT agar ketakwaan manusia semakin meningkat (Al-Baqarah: 183)—adalah keniscayaan. Program televisi menampilkan tontonan yang menuntun umat (mad’u). Sebagai contoh program acara terbaik Ramadhan 2015 versi KPI: Hafidz Indonesia (RCTI), Muslim Traveler (Net. TV), Para Pencari Tuhan Jilid 9 (SCTV), Kupenuhi Panggilanmu (RTV).
Apresiasi Program Ramadhan 2015: Aksi Junior (Talent Show-Indosiar), Hafizh Quran 2015 (Talent Show – Trans 7), Di Bawah Lindungan Abah (Trans TV), Cahaya Hati Ramadhan (ANTV), Fatwa (TVRI), Hijab Stories Spesial Ramadhan (TV One), Ngabuburit Ke Pesantren Bareng Opick (MNC TV), Inspirasi Hari Ini (iNews), Cerita Hati Ramadhan (Kompas TV), Tafsir Al Mishbah (Metro TV), Rindu Suara Adzan (Global TV).
Siaran Ramadhan sejatinya mencerahkan umat/masyarakat dengan sajian tayangan sesuai ajaran Islam kaffah. Dengan perkataan lain, mewujudkan siaran Ramadhan bermartabat dan menyejukkan di televisi adalah keharusan yang diwujudkan demi menjaga keutamaan bulan suci dan untuk kepentingan bersama, serta jati diri bangsa. (*)
LOGIN untuk mengomentari.