JAKARTA – Kebijakan pemerintah mencari tambahan pembiayaan dengan menjadikan Bank Indonesia (BI) sebagai pembeli siaga atas Surat Berharga Negara (SBN) dikhawatirkan akan mengganggu independensi dan fleksibilitas bank sentral menjalankan tugas utamanya untuk stabilsasi nilai tukar rupiah dan mengendalikan inflasi.
Pakar ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Imron Mawardi, yang diminta pendapatnya, Jumat (18/9), mengatakan dalam kondisi seperti saat ini, memang agar pemerintah memperoleh sumber pembiayaan untuk menangani Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Namun, upaya untuk menjaga konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi itu dengan meminta BI secara tidak langsung membiayai dinilai kurang tepat dan berisiko terhadap kredibilitas kemandirian otoritas moneter itu.
“Sebagai pengendali moneter, harusnya BI tidak membeli di pasar primer, tapi di pasar sekunder. Dengan cara membeli di primer ini maka fungsi BI sebagai pengendali moneter tidak berjalan secara normal. Ini banyak dipertanyakan kenapa BI beli langsung ke pemerintah, harusnya murni respons pasar,” kata Imron.
Independensi BI pun dipertanyakan karena pemerintah yang butuh dana, namun harus bank sentral yang membeli. “Ini bisa berdampak ke tingkat kepercayaan internasional,” kata Imron. Selain itu, langkah tersebut sama dengan menggelontorkan uang atau quantitative easing, meskipun pembelian itu tidak harus memakai cara mencetak uang atau yang disebut money creation tanpa fisik.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, saat menyampaikan hasil keputusan rapat Dewan Gubernur BI mengatakan terus memperkuat sinergi ekspansi moneter dengan akselerasi stimulus fiskal pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional.
“Sampai dengan 15 September 2020, BI telah membeli SBN di pasar perdana melalui mekanisme pasar, sebesar 48,03 triliun rupiah, termasuk dengan skema lelang utama, Greenshoe Option (GSO) dan Private Placement,” kata Perry.
Sementara itu, realisasi pendanaan dan pembagian beban untuk pendanaan Public Goods dalam APBN oleh BI melalui mekanisme pembelian SBN secara langsung berjumlah 99,08 triliun rupiah. Dengan komitmen BI membeli SBN dari pasar perdana, pemerintah, lebih memfokuskan upaya akselerasi realisasi APBN untuk mendorong pemulihan ekonomi.
Selain itu, otoritas moneter itu juga telah merealisasikan pembagian beban dengan pemerintah untuk pendanaan Non Public Goods-UMKM sebesar 44,38 triliun rupiah. Dengan demikian, total SBN yang sudah dibeli BI mencapai 187,49 triliun rupiah.
Penyerapan Likuiditas
Secara terpisah, Ekonom dari Universitas Kebangsaan, Eric Sugandi, mengatakan skema berbagi beban (burden sharing) antara pemerintah dengan BI memang belum menyebabkan tekanan uang beredar yang luas di masyarakat, namun bukan jadi alasan untuk terus melanjutkan skema itu dalam jangka panjang.
Kalau melihat data operasi moneter BI per awal September 2020, kata Eric, menunjukkan ada peningkatan jumlah penyerapan likuiditas oleh BI dari sistem perbankan dan dari perekonomian. n SB/uyo/E-9