in

Pemerintah Jangan Terlalu Agresif Berutang

Pengelolaan Keuangan Negara I BI Proyeksi Neraca Keuangan Defisit 21,8 Triliun pada 2021

» Dalam sembilan bulan, pemerintah sudah menerbitkan SBN sepuluh kali.

» Realisasi stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional baru capai 38,6 persen.

JAKARTA – Pemerintah diimbau tidak terlalu agresif menarik pembiayaan me­lalui utang karena dikhawatirkan belanja tidak akan terserap seluruhnya hingga ak­hir tahun. Apalagi, penerbitan Surat Ber­harga Negara (SBN) lebih banyak dibeli oleh Bank Indonesia (BI) sehingga mem­bebani neraca keuangan bank sentral.

BI sendiri pada Senin (28/9) mem­proyeksikan neraca keuangannya akan defisit sebesar 21,8 triliun rupiah pada 2021 salah satunya terimbas penerapan kebijakan berbagi beban atau burden sharing untuk mendukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menangani pandemi Covid-19.

Pakar ekonomi dari Universitas Sura­baya (Ubaya), Bambang Budiarto, me­ngatakan perilaku agresif pemerintah menarik pembiayaan utang melalui penerbitan SBN, menunjukkan sikap kepanikan para pengambil keputusan yang tengah berusaha mendorong eko­nomi yang terjebak dalam krisis akibat pandemi Covid-19.

“Sebenarnya ini adalah sebuah in­dikator makro bahwa telah terjadi ke­panikan di level pengambil kebijakan, baru sembilan bulan, tapi sudah 10 kali menerbitkan SBN. Sangat beralasan ba­nyak yang meminta untuk tidak terlalu agresif seperti ini. Sebab faktanya, sam­pai menit menit akhir kuartal ketiga, pergerakan ekonomi ternyata belum signifikan, belum berbanding lurus de­ngan gelontoran beragam pembiaya­an yang sudah dibuat dengan berbagai stimulusnya,” kata Bambang.

Sementara itu, Manager Riset Forum Indonesia untuk Transparansi Ang­garan (FITRA), Badiul Hadi, kepada Ko­ran Jakarta, Senin (28/9), mengatakan lambannya penyerapan belanja hingga Agustus 2020 seharusnya menjadi per­hatian pemerintah agar tidak terlalu agresif menarik utang melalui SBN.

Realisasi belanja negara hingga 31 Agustus 2020 baru mencapai 1.534,7 triliun rupiah atau 56,0 persen dari to­tal pagu APBN pada Peraturan Presiden (Perpres) 72 tahun 2020 sebesar 2.739,2 triliun rupiah. Sedangkan stimulus pe­nanganan Covid-19 dari 695,2 triliun rupiah yang dianggarkan, baru terserap 268,3 triliun rupiah atau 38,6 persen.

Untuk itu, pemerintah harus melaku­kan kajian mendalam terhadap kebijak­an utang termasuk SBN dalam pembia­yaan defisit APBN 2020 guna menahan bertambahnya beban bunga utang di kemudian hari.

“Pemerintah perlu waspadai oust­anding utang yang mayoritas adalah SBN, ketahanan keuangan negara sa­ngat rentan (vulnerable),” kata Hadi.

Saat ini, jelasnya, pemerintah telah memosisikan pembiayaan utang sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mem­percepat penanganan Covid-19 dan pe­mulihan ekonomi. Hal itu nampak jelas dari pembiayaan utang yang meroket ta­jam dari 402,1 triliun rupiah di 2019 men­jadi 1.225,5 triliun rupiah di 2020.

“Jika pemerintah tidak mampu mena­han untuk mengeluarkan SBN itu akan sangat berbahaya, karena perekono­mian global yang serba tidak menentu. Jika SBN tidak terkontrol akan berbaha­ya, terlebih jika mayoritas dimiliki asing risikonya semakin besar,” paparnya.

Tidak Tergesa-gesa

Secara terpisah, Ekonom Universitas Kebangsaan, Eric Sugandi, mengatakan seharusnya pemerintah menahan pe­nerbitan SBN di tengah rendahnya pe­nyerapan belanja terutama dana Pemu­lihan Ekonomi Nasional (PEN).

“Sebaiknya begitu. Walaupun ada strategi front loading untuk pembiaya­an, tapi lebih baik tidak terlalu tergesa-gesa jika penyerapannya belum opti­mal,” kata Eric.

Pemerintah, tambah Eric, sebaiknya tidak mengambil risiko berutang lebih besar dari kebutuhan pembiayaan. Le­bih bijaksana disesuaikan dengan real­isasi belanja.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam ra­pat kerja secara virtual dengan Komisi XI DPR memproyeksikan neraca keuangan bank sentral defisit 21,8 triliun rupiah pada 2021 salah satunya disebabkan ke­bijakan berbagi beban atau burden shar­ing untuk mendukung APBN.

Otoritas moneter, papar Perry, hingga 24 September 2020 BI telah menyerap SBN di pasar perdana senilai 234,65 tri­liun baik melalui melanisme pasar 51,17 triliun rupiah maupun secara langsung 183,48 triliun rupiah. Selain burden shar­ing, defisit keuangan BI, juga disebabkan suku bunga global menurun sehingga penerimaan devisa asing juga turun.

n SB/uyo/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

Penempatan Pekerja Migran di Malaysia Harus Ditata Ulang

Modus Pura-pura Belanja, 2 Pemuda Kepergok Pemilik Kedai Curi Hp