Membekukan KPK. Itulah wacana yang muncul dari anggota Pansus Hak Angket KPK, Henry Yosodiningrat. Kata dia, KPK punya banyak PR yang harus dibenahi, dan itu butuh waktu lama. Karena itu, tugas memberantas korupsi dikembalikan dulu saja ke Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Meski belum ketok palu sebagai rekomendasi, Henry yakin ini akan ikut dibacakan saat rapat paripurna, akhir bulan ini.
Ngeri? Jelas. Kita juga perlu mengingat sejarah pembentukan KPK pada 2002 lalu. Saat itu, publik tak bisa lagi bersandar pada polisi dan jaksa untuk menyapu para koruptor. Lantaran sapu yang ada terlalu kotor, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN. Karena itu juga, KPK punya kewenangan yang luas – termasuk menyadap, menggeledah dan menyita alat bukti sampai mengambil alih kasus yang ditangani polisi dan jaksa. Itu semua diatur dalam Undang-undang KPK.
Sejak dalam pikiran, KPK dirancang untuk jadi garda terdepan melawan korupsi. Karena korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka perlawanannya harus lebih luar biasa. Bersama KPK, kita lihat satu demi satu pejabat publik bertumbangan tersandung korupsi – mereka yang mengambil uang negara, uang pajak yang kita bayarkan untuk negara. Dan sepanjang hayatnya, KPK tak henti-hentinya diguncang kiri kanan depan belakang oleh koruptor dan politisi busuk.
Sejarah mencatat, serangan demi serangan kepada KPK justru membuat publik kian merapat ke KPK. Barisan makin besar, mewakili beragam usia dan kelompok. Sebab kepentingannya hanya satu: kita mau Indonesia bebas korupsi. Lontaran wacana untuk membekukan KPK sepertinya adalah peluit untuk kita semua kembali merapat ke KPK.