Sebuah sedan hitam ber plat AB buatan tahun 1950an melaju pelan dari arah selatan dan membelok ke barat yang berlawanan dengan arus kendaraan lainnya, lalu melaju di arah berlawanan.
Seorang petugas lalu lintas memandang dari jauh sedan hitam mewah itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu.
“Selamat pagi, bisa ditunjukan rebuwes,” kata petugas.
Pengemudi mobil itu membuka kacanya. Sang petugas tersentak melihat sosok di dalam mobil dan nyaris tak mampu mengendalikan diri. Sosok yang bukan hanya ia kenali tapi juga wajib dihormati.
Sang pengemudi bertanya:”Ada apa pak polisi?”
Sedetik Royadin gemetaran, tapi dia segera sadar. Semua pelanggaran harus ditindak. “Bapak melanggar verboden,” katanya tegas pada Sultan. Lalu Royadin mengajak Sultan melihat papan tanda verboden itu, namun Sultan menolak.
“Ya saya salah. Kamu benar. Jadi bagaimana? tanya pemilik mobil.
Pertanyaan sulit untuk petugas yang bernama Royadin. Di depannya berdiri sosok raja, pemimpin sekaligus pahlawan Republik, Sultan Hamengku Buwono IX, sedang dia hanya polisi muda berpangkat brigadir.
“Maaf, Bapak terpaksa saya tilang,” kata Royadin.
“Baik brigadir, kamu buat kan surat itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya harus segera ke Tegal” jawab Sultan seraya meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang.
Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit tenang sekaligus heran adalah, tidak sepatah kata pun yang keluar dari Sang Raja menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi.
Jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak melakukannya. “Sungguh orang yang besar…!” gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan, rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada Sang Raja sebelum sultab kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah barat.
Beberapa menit setelah Sultan berlalu, Royadin seperti disergap kesadaran dan terasa bagai melakukan kebodohan, berlaku kaku dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas, Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut, lalu kembali kerumah dengan sepeda abu-abu tuanya.
***
Saat apel pagi esok harinya, suara amarah meledak di Markas Polisi Semarang, nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor. Royadin langsung disemprot sang komandan.
“Royadin! Apa yang kamu perbuat?!
“Apa kamu tidak berpikir?
“Siapa yang kamu tangkap itu? Siapaaa?!
“Ngawur kamu! Kenapa kamu tidak lepaskan saja Sinuwun, apa kamu tidak tahu siapa Sinuwun?! teriak sang komisaris yang di tangannya rebuwes milik Sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.
“Siap pak! Beliau tidak bilang beliau itu siapa.
“Beliau mengaku salah, dan memang salah,” jawab Brigadir Royadin.
“Ya tapi kan kamu mestinya mengerti siapa Beliau!!
“Jangan kaku! Kok malah kamu tilang!!
“Ngawur., kamu ngawur! Ini bisa panjang
“bisa sampai Menteri Kepolisian Negara!
komisaris nyerocos tanpa ampun. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa, Kepala polisi Semarang berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun, masih di Tegal kah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu, mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar, keberadaan sultan tak kunjung diketahui hingga beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi Semarang mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.
Banyak teman-teman Brigadir Royadin yang mentertawakan dirinya, bahkan ada isu yang ia dengar kalau dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota Semarang. Dia pasrah, apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja. memang keras kepala kedengarannya.
Suatu sore, saat belum habis jam dinas, seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan kawasan Simpang Lima yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya ke ruang komisaris yang saat itu tengah menggenggam selembar surat.
“Royadin.. minggu depan kamu diminta pindah!” lemas tubuh Royadin.
Ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota Semarang setiap hari, sebab dimutasi karena ketegasan sikapnya.
“Siap pak!” Royadin menjawab datar.
“Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa keluarga ke tepi Semarang, ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah yang sekarang ” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur…Kamu sanggup bersepeda Semarang-Jogja?
“pindahmu itu ke jogja bukan disini, sultan yang minta kamu pindah tugas kesana,
“Pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak komisaris, disodorkan surat yang ada digengamannya kepada brigadir Royadin.
Ternyata surat itu dikirim dari jogya, Sultan meminta Brigadir Royadin dipindahkan ke jogya. Sultan terkesan atas tindakan tegas sang polisi.
Surat bertuliskan tangan itu berisi permintaan yang intinya :
“Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Jogja, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat” Ditandatangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Royadin bergetar. Sebuah permintaan luar biasa dari orang yang juga luar biasa. Namun dengan berbagai pertimbangan Royadin akhirnya memilih tetap berada di Semarang.
“Mohon bapak sampaikan, saya sangat berterima kasih, saya tidak bisa pindah ke Jogja. Tolong sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya.” Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati Sultan Hamengku Buwono IX, Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.
Sultan pun menghormati pilihan Royadin, dan Royadin tetap bertugas di Semarang.
Dari inspirasi-in.blogapot.co.id