Oleh : Arief Hermawan

Masyarakat saat ini mungkin sebagian sudah tidak tahu TPPI itu apa. Mungkin juga karena pemberitaan di media tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) lebih populer dibandingkan TPPI. Yaa….gebrakan Bu Susi Pudjiastuti di sektor perikanan memang mengangkat persepsi tentang TPI. Padahal saat era reformasi dan dibentuknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), kala itu TPPI Tuban dan Chandra Asri merupakan industri petrochemical Indonesia terbesar, terbaru dan termodern yang menjadi konversi pembayaran para konglomerat yang terkena krisis keuangan sehingga merelakan aset-aset perusahaannya sebagai pembayaran.
Bahkan jika menelusuri pemberitaan media di pertengahan 2015, Bareskrim Polri saat itu dikepalai Budi Waseso mengungkap mega korupsi TPPI yang melibatkan manajemen TPPI dengan SKK Migas. Bahkan saat Tim Reformasi Tata Kelola Migas pimpinan Faisal Basri merancang pemanfaatan kilang TPPI. Pada konsultasi dengan KPK, pihak KPK memperingatkan untuk berhati-hati dalam memanfaatkan kilang TPPI. Pasalnya, Pemilik lama Honggo Werdratno dari PT Tuban Petrochemical belum melepas TPPI sepenuhnya. Jika pemilik lama masih ikut campur maka akan ada aliran dana ke pemilik lama dari setiap operasional TPPI. Mekanisme kerjasama antara TPPI dan Pertamina di tahun 2013, Pertamina menjual kondensat ke TPPI sebagai bahan baku, kemudian produk dijual ke Pertamina. Kenyataannya terjadi penyelewangan karena manajemen TPPI justru menjual produk ke luar negeri dan swasta lainnya. Kejadian ini yang menyebabkan Bareskrim menyidik dan menemukan korupsi triliunan rupiah.
Tulisan ini tidak untuk membahas kasus TPPI dimasa lalu, termasuk kasus hukum yang menjerat orang-orang besar di Indonesia. Tetapi lebih pada kebangkitan TPPI menjadi salah satu tulang punggung penyediaan BBM Nasional.
Akuisiasi saham TPPI oleh Pertamina Langkah Aman dan Strategis Optimlisasi Aset TPPI
Selama Pertamina tidak mengendalikan penuh TPPI maka pemegang saham lama tentu dapat memiliki kebijakan yang berbeda dan itu mesti dikompromikan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tim Reformasi Migas dan Pertamina untuk mengakuisisi TPPI, Pertamina hanya perlu membayar sebesar Rp 2,87 triliun untuk membayar sisa cicilan obligasi (multi years bond/MYB). Langkah tersebut lebih murah jika membangun proyek seperti TPPI yang mencapai Rp 28 triliun.
Dengan menjadi pemegang saham mayoritas di TPPI, Pertamina sekaligus mendapatkan anak usahanya yaitu PT Polytama Propindo dan PT Petro Oxo Nusantara.
Bulan Oktober 2015, Pertamina berhasil menyelesaikan akuisisi saham Agro Capital BV dan Agro Global Holdings BV sebesar 22% di PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). TPPI sendiri merupakan pemilik dari kilang BBM di Tuban, Jawa Timur. Sehingga saham Pertamina menjadi 70%, menjadikan Pertamina mengendalikan penuh TPPI Tuban. Aksi Pertamina tentu melegakan karyawan TPPI karena terhindar dari PHK massal.
Tangan Dingin dan Kecerdikan Dwi Soetjipto
Penguasaan TPPI oleh Pertamina tidak lepas dari sosok Dirut Pertamina saat itu Dwi Soetjipto yang mampu membaca “pendulum politik dan ekonomi”. Menggabungkan rekomendasi Tim Reformasi Migas dengan program Kemandirian Energi Nawacita Jokowi. Bahwa kebutuhan BBM dalam negeri saat itu mencapai 1,5 juta barrel perhari, dengan kapasitas kilang hanya 800 ribu barrel maka butuh impor 700 ribu barrel per hari. Adanya kilang TPPI dapat meningkatkan produksi BBM nasional hingga 100.000 barrel perhari sehingga menghembat impor BBM dari luar negeri sebanyak 15 persen.
VP Communication Pertamina Wianda pada suatu kesempatan mengatakan, beroperasinya TPPI Tuban dapat menghemat impor US$ 1,9 miliar pertahun atau setara Rp 24 triliun. Tentunya berdampak pada penguatan nilai rupiah, berkurangnya pengeluaran negara yang dapat menggerus devisa.
TPPI Tuban Teknologi Modern Yang Mangkrak
Ada pertanyaan, kenapa dengan cepat Pertamina bisa mengoperasikan TPPI Tuban dengan kapasitas penuh?. Salah satu argumentasi sederhana adalah TPPI Tuban dibangun dengan teknologi modern melebihi teknologi yang pernah dimiliki Pertamina di kilang yang dimilikinya dan setara dengan Kilang Balongan. Asal tahu, kilang Pertamina paling baru adalah kilang Balongan yang dibangun hampir bersamaan dengan Pertamina. Ibarat mengendarai mobil teknologi 1980an kemudian diberikan mobil teknologi 2000an tentu sangat memudahkan pengemudinya.
Modernnya TPPI Tuban tentu memudahkan Pertamina mengoperasikannya. Dapat dibayangkan jika kilang modern tersebut “Mangkrak” yang rugi tidak hanya pemegang saham yang sebelumnya dimiliki Kementerian Keuangan, Pertamina dan pemegang saham lainnya. Keberadaan Kementerian Keuangan dan Pertamina yang 100% adalah perwakilan negara, tentu ada kerugian negara yang besar jika TPPI tidak beroperasi.
Tidak hanya kilang beroperasi penuh, namun dengan teknologi modern yang ada, maka “jenis produk” yang dihasilkan TPPI Tuban dapat dengan mudah dimodifikasi untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal bagi Pertamina. Semisal sebulan sejak beroperasi secara penuh di November 2015, dengan feedstock sebesar 2.311,28 MB menghasilkan produk : Gasoil 223,80 MB, Premium 991,16 MB, LPG 65,38 MG dan FO 68,63. Dari komposisi ini nampak bahwa Gasoil adan FO adalah produk yang harganya tidak dikendalikan Pemerintah, namun harga produk ini termasuk rendah karena dianggap sebagai “produk samping”
Bandingkan dengan bulan Desember 2016 dengan feedstock sebesar 2981,16 MB menghasilkan Gasoil 237,50 MB, Pertamax 1.482,91 MB, LPG 89,16 MB dan FO 17, 35 MB. Terlihat presentasi “produk samping” Gasoil dan FO yang turun, hilangnya Premium dan Pertama sebagai produk mayoritas.
Melihat laporan keuangan Pertamina 2017 yang mencatat keuntungan sebesar US$ 3,15 miliar atau setara lebih dari Rp 41 triliun, serta penjualan produk BBM Non Subsidi yang melonjak hingga 17%, maka meningkatnya produk otomotif yang membutuhkan BBM berkualitas mampu di jawab ketersediaannya oleh Pertamina, salah satunya ditopang dari TPPI Tuban.
Maka tidak salah jika diibaratkan Dwi Soetjipto mampu “menghidupkan kembali” aset mangkrak TPPI Tuban menjadi sangat bernilai bagi bangsa Indonesia karena mampu menopang program Kemandirian Energi Nawacita, juga memberikan dampak positif bagi kinerja Pertamina sebagai korporasi.