in

Klub Bola Rawan jadi Penampung Uang Korupsi

Puluhan Pejabat Publik jadi Pejabat Klub

Terbongkarnya modus pemberian dana sponsor untuk Cilegon United Football Club (CUFC) untuk mengaburkan uang korupsi menjadi peringatan bagi penyelenggara negara yang terlibat aktif dalam kepengurusan klub sepakbola profesional. Tidak tertutup kemungkinan, modus menampung uang haram itu juga marak terjadi di tempat lain. 

Untuk diketahui, tidak sedikit klub-klub sepakbola Liga 1 dan Liga 2 yang dikelola penyelenggara negara. Ada yang menjabat sebagai ketua umum (presiden klub) atau manajer sampai pembina. CUFC salah satunya. Tim yang berlaga di Liga 2 itu dikelola Tubagus Iman Ariyadi, Wali Kota Cilegon yang dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sabtu (23/9). 

Bukan hanya di Liga 2, di Liga 1 juga ada beberapa tim yang dikuasai kepala daerah. Antara lain, Persipura Jayapura. Klub yang berasal dari ujung timur Indonesia itu menjadikan Wali Kota Jayapura Benhur Tomi Mano sebagai ketua umum. Begitu pula dengan Sriwijaya FC yang saat ini dikelola Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin. 

Meski tidak ada larangan penyelenggara negara menjadi pengurus klub sepakbola nasional, fenomena tersebut tentu berpotensi membuka ruang terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest). Koordinator Masyarakat Antikorupsi (Maki) Boyamin Saiman mengatakan, klub itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan memperkaya diri sendiri.

Menurut dia, banyak klub sepakbola yang tidak dikelola secara profesional. Mereka masih mengandalkan uang dari APBD. Penggunaan uang pemerintah sangat rawan dikorupsi. Penyalahgunaan uang APBD untuk sepakbola sudah pernah terjadi di beberapa daerah. Misalnya, di Bantul, Pati dan Wonogiri.

Persiba Bantul pernah tersandung kasus korupsi senilai Rp 11 miliar. Uang itu berasal dari APBD Bantul. Walaupun, kata dia, kasus itu kemudian di-SP3. “Ini menjadi contoh bagaimana rawannya APBD digunakan untuk sepakbola,” terang aktivis asal Solo itu.

Sedangkan Persipa Pati pernah menghadapi masalah penggunaan anggaran yang tidak jelas. Ada uang Rp 360 juta dari APBD yang penggunaannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Katanya digunakan untuk membeli bola, kaos dan keperluan lainnya. Tapi, barang yang dimaksud tidak ada wujudnya.

Sementara di Wonogiri, pernah ada uang Rp 90 juta yang lenyap dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dana dari APBD itu informasinya digunakan untuk membayar dukun, agar klub sepakbola daerah itu bisa menang. Tapi, pengurus klub tetap tidak bisa membuktikan. 

Boyamin mengatakan, selama klub masih mengandalkan APBD dan kepala daerah cawe-cawe dengan manajemen sepakbola, maka peluang disalahgunakan sangat besar. Klub itu bisa digunakan untuk korupsi APBD atau bisa digunakan untuk menampung uang suap dari pihak swasta. “Yang terjadi di Kota Cilegon itu modus baru,” papar dia.

Selain modus untuk pembelian bola, kaos dan keperluan lainnya, mereka juga beralasan meminta uang dari APDB untuk membayar utang tahun sebelumnya. Padahal, tidak ada utang yang dimiliki klub tersebut. Jadi, hal itu hanya akal-akalan mereka saja.

Dia mengatakan, untuk menjadikan klub terhindar dari korupsi dan suap, maka organisasi sepakbola itu harus di-manage secara profesional, yaitu dengan dibentuk badan hukum dan langsung di bawah PSSI. Klub itu tidak lagi membebani anggaran pemerintah, sehingga kepala daerah tidak bisa menitipkan kepentingannya. “Jika klub dikelola secara profesional, maka kepala daerah tidak bisa melakukan korupsi APBD dan tidak bisa menampung uang suap seperti yang dilakukan Wali Kota Cilegon,” urainya.

Ia menerangkan, klub yang ada sekarang bisa meniru manajemen yang diterapkan Persib Bandung dan Persebaya. Keduanya sangat mandiri dan tidak membebani keuangan daerah. Kepala daerah tidak bisa main-main dengan uang negara. Klub profesional itu membiayai dirinya dengan penjualan tiket, merchandise dan sponsorship.

Potensi terjadinya konflik kepentingan dalam pengelolaan klub sepakbola tersebut sudah diendus komisi antirasuah. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengingatkan posisi penyelenggara negara itu tidak disalahgunakan untuk “mengamankan” uang haram hasil korupsi. “Karena KPK sudah memetakan penggunaan modus CSR ke klub olahraga tersebut,” ungkap Febri saat dihubungi, kemarin. 

Peringatan itu tidak main-main. Sebab, setiap pemberian hadiah atau janji yang patut diduga untuk menggerakkan pegawai negeri atau penyelenggara negara agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dalam jabatannya merupakan bentuk pidana korupsi.

“Kepala daerah yang menjadi pengurus (klub sepakbola) masih berstatus penyelenggara negara dan harus berhati-hati dengan setiap pemberian,” terang mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut. 

Apakah KPK bakal menindaklanjuti indikasi penyalahgunaan wewenang penyelenggara negara yang mengelola klub sepakbola? “Nanti akan kami lidik (selidiki) untuk yang lainnya,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan kepada koran ini. 

Meski demikian, Basaria meminta masyarakat tidak menjustifikasi bahwa penyelenggara negara yang menjadi pengurus klub sepakbola terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. “Karena belum tentu seperti itu, soalnya modus ini baru kami temukan,” papar purnawirawan Polri tersebut. 

Yang jelas, KPK saat ini terus mempelajari indikasi suap berkedok CSR dan sponsorship yang menjerat Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi. Kemarin (24/9), tim komisi antirasuah tersebut mengumpulkan barang bukti dari sejumlah lokasi di Kota Cilegon. Antara lain, kantor badan perizinan terpadu dan penanaman modal (BPTPM), kantor klub CUFC dan kantor PT Krakatau Industrial Estate Cilegon.

Dari kegiatan itu, KPK menyita sejumlah dokumen perizinan terkait dengan PT Krakatau Industrial Estate Cilegon. Dokumen tersebut menjadi salah satu bukti penting bagi penyidik untuk menguatkan sangkaan terhadap para tersangka. Sebelumnya, KPK juga menyita buku tabungan bank dan rekening koran CUFC. 

Sebagaimana diwartakan, KPK menetapkan Iman Ariyadi sebagai tersangka dugaan suap rekomendasi analisa dampak lingkungan (AMDAL) pembangunan mall Transmart di kawasan Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC). Dalam perkara itu, KPK mengamankan uang tunai Rp 1,152 miliar. 

Yang menarik, suap itu dibuat seolah-olah diberikan untuk Cilegon United. Klub sepakbola yang kini berlaga di babak 16 besar Liga 2 itu merupakan binaan Iman Ariyadi. KIEC menjadi salah satu sponsor CUFC yang mendanai kebutuhan operasional tim kebanggaan warga Cilegon tersebut. Dana sponsor itu disalurkan melalui skema CSR atau sponsorship perusahaan. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Sampai Jumpa di Batam Open Piano Competition 22-23 Oktober 2017

STP NHI Bandung Gelar Internasional Tourism Jamboree 2017