Kapolri: GNPF Ditawari Ikut Makar, tapi Ditolak
Setelah menangkap delapan orang aktivis karena diduga melakukan makar, Polri mengklaim ancaman makar masih membayangi. Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut selama masih ada potensi penggerakan massa secara besar-besaran, maka pendompleng itu juga akan berupaya memanfaatkannya.
Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR kemarin, Tito menjelaskan bahwa pendompleng ini masih terus berupaya, walau sudah ada yang berhasil ditangkap. “Mereka ingin membajak massa yang begitu besar,” tuturnya.
Namun, apakah ada aktor yang lebih besar lagi perannya dari orang-orang yang ditangkap itu, Tito enggan menjawabnya. “Saya tidak bisa sampaikan sekarang,” terang mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) tersebut.
Kapolri mengungkapkan, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI sempat mendapat tawaran untuk ikut membantu proses menduduki gedung DPR. Mujur, GNPF menolak rencana tersebut. “Sudah ditawari itu GNPF, tapi ditolak,” jelasnya.
Kadivhumas Mabes Polri, Irjen Boy Rafli Amar menjelaskan, makar tidak harus dengan senjata, namun bisa memanfaatkan people power. “Eranya itu tidak pakai senjata, tapi kebebasan dalam berdemokrasi,” jelas mantan Kapolda Banten tersebut.
Karena itu, upaya untuk menggunakan massa harus digagalkan. Caranya, dengan menangkap sebelum Aksi Damai 2 Desember. “Akhirnya, berhasil digagalkan upaya inkonstitusional itu,” jelas mantan Kapoltabes Padang itu.
Penjelasan Kapolri terkait makar mendapat respons dari anggota Komisi III DPR. Anggota Komisi III DPR, Hasrul Azwar mengingatkan bahwa potensi makar tidak hanya terjadi di seputar Jakarta.
Menurut dia, Polri juga harus bisa membuktikan bahwa proses penangkapan sejumlah tokoh itu memang terindikasi makar yang berdampak luas. “Sejauh mana potensi makar itu sampai ke daerah-daerah,” ujar Hasrul.
Anggota Komisi III, Erma Ranik meragukan tokoh-tokoh yang pernah ditangkap bersamaan aksi 212 benar-benar bakal melakukan aksi makar. Polri juga harus bisa membuktikan bahwa indikasi para tokoh itu berusaha menduduki DPR dengan mendompleng kelompok GNPF.
“Lihat saja ibu Rachmawati, fisik beliau tidak memungkinkan untuk melakukan aksi,” ujarnya. Anggota Komisi III Jazilul Fawaid meminta Kapolri bisa melakukan tindakan tegas dalam kaitan kasus makar.
Jika memang terbukti, Polri harus melakukan tindakan cepat, sebelum gerakan itu berkembang. “Kalau memang (bukti) cukup, saya pikir langsung digas saja Pak, seperti tindakan cepat saat mengantisipasi 212,” ujarnya.
Membacakan kesimpulan raker, Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman menyatakan, Komisi III mendesak Kapolri sungguh-sungguh menjaga netralitas dan profesionalisme dalam penegakan hukum. “Terhadap perkara yang memang tidak cukup bukti, supaya Polri bisa menghentikan kasus itu,” kata Benny.
Terhadap aksi massa, Komisi III meminta Kapolri mengedepankan preventif dan preemptif untuk mencegah terjadinya konflik sosial di masyarakat. Hal ini demi menjaga ketertiban dan keamanan nasional. “Polri harus menghindari penanganan represif aksi unjuk rasa yang sesuai aturan hukum,” tandasnya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting menekankan bahwa kepolisian harus cermat dan hati-hati dalam menerapkan tuduhan makar. Menurutnya hal tersebut harus diperhatikan demi tercapainya penegakan hukum terhadap kasus makar berjalan tepat tidak berpolemik.
Miko menuturkan, makar bukan tindak pidana yang berdiri sendiri, melainkan unsur dari tindak pidana. Miko mengatakan, asal istilah makar bersal dari bahasa Belanda yakni anslaag, yang memiliki arti serangan yang berat.
“Oleh karena itu, unsur utama dari tuduhan makar adalah apakah ada serangan yang berat. Apabila tidak ada serangan yang berat, maka tuduhan makar tidak terpenuhi,” kata Miko. (*)
LOGIN untuk mengomentari.