JAKARTA – Puluhan ribu manuskrip keagamaan yang tersebar di masyarakat, kini berada dalam kondisi memprihatinkan. Untuk itu dibutuhkan Pusat Kajian Manuskrip Keagamaan untuk mengamankan kekayaan manuskrip tersebut.
Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim Saifuddin, mengatakan Indonesia sangat kaya akan kekayaan manuskrip, termasuk manuskrip keagamaan. Namun sayangnya, manuskrip keagamaan yang jumlahnya mencapai puluhan ribu tersebut masih sangat banyak tersebar di masyarakat.
“Puluhan ribu manuskrip keagamaan itu juga berada dalam kondisi yang memperihatinkan,” kata Lukman, di Jakarta, Jumat (12/1). Untuk itu, Lukman meminta Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat untuk membuat Pusat Kajian Manuskrip Keagamaan Nusantara.
“Sudah semestinya Indonesia sebagai negara yang begitu besar punya Pusat Kajian Manuskrip Keagamaan Nusantara,” jelas Lukman. Menurut Menag, harus ada sesuatu yang terfokus untuk mewujudkan Pusat Kajian Manuskrip Nusantara. Kegiatan ini harus dimulai secara bertahap, misalnya digitalisasi naskah, membuat film-film dokumenter sebagai bentuk konservasi warisan ini.
“Untuk mewujudkan hal ini, perlu penyesuaian dan modifikasi sejumlah program yang mendukung,” imbuhnya. Menag juga meminta Litbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi untuk segera menyelesaikan regulasi terkait Buku Pendidikan Agama. Karena UU Nomor 3 Tahun 2017 menjadikan Kemenag sebagai institusi untuk menguji sahih buku – buku pendidikan agama, baik yang belum dan sudah terbit.
Segera Diwujudkan
Keinginan Menag agar Kemenag punya pusat kajian manuskrip keagamaan nusantara tersebut diamini Kepala Badan Litbang Diklat Kemenag, Abd Rahman Mas’ud. Mas’ud mengakui, adanya sejumlah kegelisahan akademik yang mendorong agar wacana pendirian pusat kajian manuskrip keagamaan nusantara ini harus segera diwujudkan.
Di antaranya, karena maraknya tahrif sejak tahun 1970-an, dan Indonesia merupakan negara yang sangat kaya manuskrip keagamaan, namun juga rawan bencana alam (tsunami, banjir, gunung meletus, dan lainnya). “Bencana alam juga biasa berdampak pada hilang atau rusaknya naskah,” jelas Mas’ud.
Ia juga menjelaskan, konservasi manuskrip keagamaan telah lama dikerjakan tetapi belum maksimal untuk kebutuhan riset dan produksi ilmu pengetahuan. Banyak naskah yang telah didigitalisasi, tetapi belakangan hancur, hilang, dan bahkan dijual ke luar negeri. Mas’ud menambahkan, sedang terjadi pergeseran paradigma kajian Islam dari Timur Tengah ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Islam Indonesia yang khas dan majemuk, sejatinya menjadi referensi dunia terutama dalam hal artikulasi Islam dengan budaya, politik, ekonomi dan kearifan lokal.
cit/E-3