Kasus (konflik) satwa liar yang dilindungi dengan manusia masih terjadi di Sumbar. Bahkan, dalam dua tahun belakangan sejumlah konflik itu membuat masyarakat hidup dalam ancaman.
Seperti konflik harimau Sumatera di Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel). Warga Kampung Kotopulai, Nagari Kambang Timur, Kecamatan Lengayang, termasuk perkampungan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Karena status itu, apa pun yang ada dan terdapat di kawasan itu, tidak boleh diganggu apalagi sampai dirusak.
”Selagi itu bisa dipertahankan, maka masyarakat akan bisa hidup damai tanpa harus khawatir akan diganggu oleh satwa liar yang ditakuti seperti harimau. Itu dapat kami rasakan, sebab sejak saya lahir, belum pernah terjadi sekalipun masyarakat yang dimangsa harimau di Nagari Kambang Timur ini,” kata warga setempat, Syafrijon 51, kepada Padang Ekspres, Kamis (9/11).
Kalaupun pernah ada harimau mengganas, namun hanya memangsa hewan ternak, sebagai mana terjadi pada bulan Juli lalu. “Kejadian itu jelas membuat warga menjadi resah,” katanya.
Abdul Kadir 67, masyarakat Nagari Kambang Timur lainnya mengatakan harimau yang biasa disebut Panglimo atau inyiak balang, tidak akan mengganggu bila warga tidak mengganggu pula.
”Beberapa kasus yang terjadi seperti harimau masuk kampung hingga sampai memakan ternak, itu salah satu bentuk protes atau peringatan kepada warga sekitar,” ucapnya.
Wali Nagari Kambang Timur Sondri KS juga mengatakan, pada pertengahan bulan Juli lalu, di nagari ini diresahkan berkeliarannya beberapa ekor harimau pada malam hari. “Keresahan itu semakin mencekam ketika beberapa ekor ternak warga seperti kambing, menjadi mangsa,” katanya.
Ditambahkannya setelah beberapa hari berlalu, keresahan warga mulai mereda. “Di nagari ini, sebagian besar masyarakat adalah petani pengarap lahan. Karena lahan garapan mereka berada di sepanjang hutan atau berbatasan langsung dengan hutan. Kejadian itu mengganggu kelancaran perekonomian mereka. Agar kejadian itu tidak kembali terulang, masyarakat dilarang untuk tidak asal membuka lahan, serta menjaga berbagai pantangan,” ingatnya.
Kondisi yang sama juga pernah dialami masyarakat Kampung Juar, Kenagarian Sungailiku Kecamatan Ranahpesisir pada bulan Juni lalu. Di kampung yang juga berbatasan langsung dengan hutan TNKS itu, warga mendapati tiga ekor harimau berkeliaran bebas.
“Karena meresahkan, bahkan tidak saja membuat warga takut ke luar rumah pada malam hari, tapi sampai mengungsi ke kampung sebelah. Harimau tersebut pun ditangkap dengan perangkap yang dipasang tim BKSDA Sumbar. Melalui upaya itu, harimau tersebut berhasil diamankan dan masuk perangkap satu ekor pada Jumat (10/6) lalu pukul 10.00,” kata Wali Nagari Sungailiku Ranahpesisir, Darmawan kepada Padang Ekspres.
Peristiwa yang juga cukup menggemparkan warga terhadap satwa yang dilindungi itu juga pernah terjadi di kawasan perbukitan Nagari Mandeh, Kecamatan Koto XI Tarusan. Seekor harimau tanpa sengaja terperangkap oleh jerat babi yang dipasang warga yang tidak diketahui pelakunya.
“Beruntung harimau yang terjerat pada kaki kiri bagian depan itu diketahui warga. Akhirnya bisa dilakukan penyelamatan oleh tim BKSDA Sumbar, yang sebelumnya dilaporkan warga,” kata Wali Nagari Mandeh, Jasril Rajo Basah, ketika dihubungi Padang Ekspres, Kamis (9/11).
Perisitiwa pada Jumat (5/5) lalu itu, bisa dijadikan pelajaran bagi warga agar tidak sembarangan mamasang jerat. “Sebab akibat perbuatan yang dilakukan oknum yang tidak bertanggung jawab itu, bisa berdampak terhadap satwa yang dilindungi tersebut,” ucapnya.
Di Kabupaten Agam, konflik antara satwa liar dengan manusia membuat resah. Harimau Sumatera yang bergerilya sambil mengajarkan anaknya berburu tercatat sekian kali menghampiri permukiman warga dan memangsa hewan ternak.
Sepanjang tahun 2017, informasi yang dirangkum Padang Ekspres terjadi tiga kali konflik antara hewan ini dengan masyarakat kawasan Agam Barat. Korbannya, enam ekor kerbau dan seekor kambing.
Di Agam Timur, harimau Sumatera tercatat beraksi sebanyak 8 kali. Seluruhnya mulai beraksi sejak 27 September 2016 sampai 8 Juli 2017. Jumlah korban seluruhnya, terbilang fantastis. Sudah 23 ekor kerbau, 41 ekor anjing, dan 2 ekor kambing peliharaan penduduk yang diterkam.
Wali Jorong Pandam Gadang Ranggomalai (PGRM), Nagari Gadut, Kecamatan Tilatang, M Kaedi Usman menyebut, kejadian ini meresahkan. ”Kerbau itu dimangsa hanya berjarak sekitar satu kilometer saja. Kami sudah mengimbau masyarakat untuk membawa ternaknya ke kandang agar tidak jatuh korban selanjutnya,” sebut dia.
Salah seorang warga asal Nagari Gadut, mengaku cukup trauma dengan adanya isu serangan harimau terhadap kerbau milik warga. “Saat kejadian itu warga hampir sepekan tidak terlihat lagi di sekitar ladang. Mereka takut. Ada petani yang melihat tulang belulang seukuran kerbau di lokasi tak jauh dari sana. Namun belum jelas pula siapa pemilik kerbau yang mati karena harimau. Sebab ada juga petani lain yang mengaku kehilangan kerbaunya,” ujar Welhendri Sutan Pamenan.
Menurutnya, salah satu kendala bagi masyarakat, minimnya informasi dan jalur yang ditempuh untuk meminimalisir konflik dengan harimau. Sebelum korban manusia berjatuhan, dia berharap sosialisasi dilakukan dengan melibatkan para petani dan pemilik hewan ternak.
Di Kabupaten Solok Selatan (Solsel), juga terjadi konflik antara beruang madu dengan manusia di Jorong Sapan, Nagari Lubuk Gadang Selatan, Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok Selatan, di akhir bulan Januari lalu.
Meskipun sudah diusir, hingga kini beruang madu masih saja ditemukan di ladang atau di kebun warga. “Masih saja ditemukan warga, termasuk suami saya ketika ia bekerja di kebun. Jumlah beruang madu capai tiga ekor, alhamdulillah tidak mengganggu lagi,” kata Asanti, 46, warga Jorong Sapan saat ditemui Padang Ekspres.
Ondrizal, warga lainnya, mengaku lahan pertanian warga tak lagi dijarah atau dirusak beruang seperti sembilan bulan lalu. Baik hasil pertanian jenis pisang, kelapa, kakao dan lainnya.
Wali Jorong Sapan, Pedri meminta warga berhati-hati saat berada di kebun. “Jika ditemukan dalam perjalanan menuju kebun atau sedang beraktivitas di kebun, warga diminta menghindar demi keselamatan dan dilarang untuk melakukan pengusiran,” imbaunya.
Menyikapi hal tersebut, Kepala Satuan (Kasat) Polisi Kehutanan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar, Zulmi Gusrul menuturkan, dari tahun ke tahun kasus terkait satwa liar selalu ditemukan. Hampir di sejumlah daerah didapati kasus yang sama.
Padahal semuanya sudah diatur dalam PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam peraturan tersebut terdaftar sejumlah satwa yang dilindungi seperti rusa, badak sumatera, gajah, trenggiling, beruang, bangau putih, dan lainnya. (selengkapnya lihat grafis, red)
Sejumlah kasus yang terungkap di Sumbar seperti tahun 2012 ditemukan 35 ekor trenggiling di Padangpanjang. Terkuaknya saat bus mengalami kecelakaan.
Saat itu sopir melarikan diri. “Diduga trenggiling tersebut dibawa dari luar daerah untuk diperjualbelikan. Hewan yang sudah diamankan, dilepaskan kembali wilayah konservasi, sedangkan tidak sehat dirawat. Setelah sembuh baru dikembalikan ke habitatnya,” ungkapnya kepada Padang Ekspres, Kamis (9/11).
Menurut Zulmi, kasus penjualan satwa ini juga pernah terjadi di Padang, pada tahun 2014, yaitu penjualan telur penyu oleh masyarakat sekitar. Saat ini sudah tak ada lagi, lantaran sejumlah masyarakat terlibat sudah digusur.
Di tahun 2015, penjualan landak berlokasi di Padangpariaman. Dengan modus ditangkap masyarakat untuk dijual. Lokasi penjulan sampai ke luar daerah.
Masih di tahun yang sama terjadi penangkapan pemboyongan landak yang dibawa ke luar daerah. “Awalnya dibawa dari Bengkulu dan tertangkap di Sumbar,” katanya.
Kasus perdagangan ilegal kulit harimau yang terjadi di Kabupaten Solok pada tahun 2016. Modusnya, pelaku pertama sebagai perantara dan penyediaan kulit harimau. Pelaku kedua sebagai pemilik sekaligus penjual kulit harimau lengkap dengan tulang belulang.
”Pelaku ketiga pemilik satu set kerangka harimau lengkap tengkorak dan tulang belulang. Pelaku yang memperjualbelikan satwa dilindungi ini bisa disanksi 4 tahun penjara dengan denda Rp 100 juta,” ucapnya.
Kasus pada tahun 2017, baru-baru ini penembakan burung kuntul di Tanahdatar. Tak ayal, apabila terjadi kasus-kasus di atas, dikhawatirkan satwa yang dilindungi akan mengalami kepunahan. “Solusi yang tepat selain memanfaatkan wilayah habitatnya, harus ada tempat konservasi yang berfungsi untuk penitipan atau penyembuhan satwa tersebut, yang dikelola oleh BKSDA,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan jika ada satwa yang karena suatu sebab keluar dari habitatnya dan membahayakan manusia harus digiring dan ditangkap. Terkait sanksi yang akan dikenakan kepada pelaggar tersebut. Sesuai dengan UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, maka akan divonis empat tahun kurungan penjara dan denda Rp 100 juta. Saat ini terkait pencegahan, ia dan timnya melakukan sosialisasi dan edukasi masyarakat. (*)
LOGIN untuk mengomentari.