Diduga Jerat 37 Anggota DPR, KPK Incar yang lebih Besar
Indikasi korupsi berjamaah dalam proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) semakin kuat. Surat dakwaan jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan adanya 37 nama anggota DPR yang diduga terlibat dalam megakorupsi senilai triliunan rupiah tersebut.
Namun, komisi antirasuah tidak menyebutkan nama-nama tersebut. Jaksa KPK Irene Putrie menyatakan, nama-nama itu sengaja tidak disebutkan karena dakwaan masih difokuskan pada terdakwa mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman dan anak buahnya, Sugiharto.
“Fokus kami bukan 37 nama anggota yang menerima itu. Ada yang lebih besar,” ujarnya kepada koran ini di Pengadilan Tipikor, Jakarta, kemarin.
Tidak disebutkannya 37 nama itu menimbulkan pertanyaan. Spekulasi liar bermunculan seiring ada beberapa nama besar lain yang duduk di Komisi II pada saat itu.
Salah satunya, kandidat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Disinggung soal itu, Irene memastikan nama tersebut tidak masuk dalam dakwaan. “Nama Ahok tidak ada,” ungkapnya.
Menurut Irene, penyidik dan jaksa KPK ingin membuktikan terjadinya grand corruption dalam kasus e-KTP. Poin-poin itu yang kemarin diurai di surat dakwaan sebanyak 121 lembar tersebut.
“Tidak tertutup kemungkinan uraian ini masih akan berkembang, karena kami terus berupaya mengungkapkan sampai sejauh mana aliran dana (korupsi),” bebernya.
Perempuan berjilbab ini menyatakan, aliran dana ke sejumlah nama besar itu merupakan rangkaian peristiwa dari pengembangan bukti dan keterangan yang diperoleh dari dua terdakwa. Penyebutan nama-nama besar pun tidak bisa terhindarkan sejalan dengan pengakuan Irman dan Sugiharto saat penyidikan.
“Bagi kami, ini korupsi sistematis karena sudah dimulai saat penganggaran.” Di sisi lain, harapan agar nama-nama yang terlibat kasus e-KTP segera diusut tuntas mulai masif.
Salah satunya datang dari Gerakan Anti Korupsi (GAK) dan kalangan mahasiswa. Mereka kemarin mendatangi KPK sebagai bentuk dukungan. “Ini korupsi berjamaah. Yang gentar itu yang saat ini di DPR yang saat itu terlibat proyek e-KTP. KPK jangan gentar,” kata Koordinator GAK Rudi Yohanes.
Mereka berharap pengusutan e-KTP tidak berhenti di dua terdakwa saat ini. KPK mesti berani menyeret pihak lain, terutama Setya Novanto yang diduga berperan sebagai aktor politik dan berada di balik mega korupsi tersebut. “Semua tahu peran dia (Setnov) menyetujui penggelontoran anggaran dana dan di dakwaan pun disebut,” ungkapnya.
Aktivis Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menambahkan, nama-nama yang saat ini masih disembunyikan harus dibuka semua. Hal itu untuk mempermudah antisipasi serangan balik oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan pengusutan e-KTP.
“Kami memahami hitungan strategis KPK, tapi itu bisa merugikan KPK sendiri dari potensi serangan balik.”
Ramai-ramai Membantah
Munculnya nama-nama sejumlah anggota dewan dalam persidangan perdana kasus e-KTP, langsung dibantah ramai-ramai oleh sejumlah politikus terkait.
Ketua Umum Partai Golongan Karya Setya Novanto memberikan bantahan langsung saat berpidato membuka Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Partai Golkar.
Setnov mengaku mendengar bahwa namanya disebut dalam dakwaan jaksa, bahwa dirinya menerima sejumlah uang dalam jumlah fantastis, yakni Rp 543 miliar. “Saya sudah melakukan safari ke berbagai media, saya menegaskan tidak menerima apapun terkait KTP elektronik,” kata Setnov.
Menurut Setnov, ada juga tuduhan lain dalam dakwaan yang menyebut ada aliran dana E-KTP ke Partai Golkar sebesar Rp 150 miliar. Aliran dana itu tidak hanya diberikan ke Partai Golkar, tetapi juga ke Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Setnov kembali membantah tudingan itu.
“Saya, demi Allah kepada seluruh Indonesia bahwa saya tidak pernah menerima apapun dari KTP elektronik. Saya sampaikan, apa betul Golkar terima Rp150 miliar? Saya bilang itu durhaka, saya demi Allah, kepada kader Golkar saya tidak pernah terima apapun,” ujarnya.
Menurut Setnov, apa yang terjadi saat ini adalah godaan-godaan terhadap kebangkitan kembali Partai Golkar. Menurut dia, setelah Partai Golkar kembali solid, banyak tudingan yang mengarah ke Partai Golkar. “Inilah godaan godaan (terhadap) kita, jangan berkecil hati. Kita harus tetap solid dan berakar,” ujarnya.
Mantan Ketua DPR Marzuki Alie saat ditemui di kampus Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) juga membantah dakwaan jaksa, bahwa dia menerima aliran dana Rp 20 miliar terkait e-KTP. Menurut dia, sepanjang menjabat Ketua DPR, dirinya memang selalu dikait-kaitkan dengan berbagai kasus yang akhirnya tidak terbukti.
“Kalau Ketua DPR itu disebut, itu sudah menjadi kebiasaan. Dulu kasus Hambalang saya katanya terima 1 juta dollar, tapi tidak pernah diklarifikasi,” kata Marzuki.
Apa yang terjadi saat ini, ujar Marzuki, tidak jauh berbeda di kasus Hambalang. Mantan Sekjen Partai Demokrat itu mengaku tidak kaget namanya masuk dalam dakwaan. Namun, kata dia, lagi-lagi perilaku yang sama oleh KPK juga terjadi.
“Persoalannya kenapa KPK tidak minta saya hadir untuk memberi keterangan. Ini sangat tidak fair, tidak adil. Katanya prinsip penyidikan KPK kan follow the money,” ujarnya.
Menurut Marzuki, dirinya tidak pernah tahu proses penganggaran e-KTP, karena sebagai Ketua DPR tidak memegang Komisi. Baru kemudian dirinya didatangi oleh komisioner KPPU pada saat itu yang menyatakan bahwa proses tender e-KTP janggal. “Akhirnya dibentuk majelis KPPU sampai tender itu batal di tingkat kasasi,” kata Marzuki.
Namun, denda dari sanksi putusan kasasi itu terlalu kecil dan tidak dibahas lebih lanjut di Komisi II DPR. Putusan itu yang kemudian menjadi pintu masuk KPK untuk mengusut proses pengadaan e-KTP. “Berkas penyidikannya di KPK kemudian menjadi landasan untuk masuk,” ujarnya.
Karena penyebutan namanya itu menjadi viral, Marzuki menyatakan akan mengambil langkah hukum. Rencananya hari ini dirinya akan mengajukan gugatan ke Bareskrim Polri. “Saya saja tidak pernah ketemu itu Andi Narogong, saya merasa didzolimi,” ujarnya.
Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Teguh Juwarno juga mengklarifikasi penyebutan dirinya terkait kasus e-KTP. Teguh menyatakan, dirinya tidak pernah mengenal sosok Andi Narogong yang disebut-sebut sebagai pihak yang membagi-bagikan uang.
Apalagi, kata dia, kronologi pembagian uang yang melibatkan mantan anggota DPR Mustokoweni Murdi juga janggal. “Ibu Mustokoweni meninggal dunia 18 Juni 2010. Jadi bagaimana mungkin ada pembagian uang di ruangan beliau, di mana di situ disebut saya menerima pembagian uang,” kata legislator Partai Amanat Nasional itu.
Selain itu, Teguh menyebut masa tugasnya sebagai anggota Komisi II hanya sampai tanggal 21 September 2010. Sementara persetujuan penambahan anggaran e-KTP terjadi bulan Oktober-November 2010.
Sesuai dokumen yang ditunjukkan penyidik KPK, persetujuan anggaran Kemendagri dilakukan pada 2011 di mana ada penambahan anggaran untuk e-KTP hanya ditandatangani Ketua Komisi II dan tiga anggota Badan Anggaran. “Nama saya tidak ada dalam surat persetujuan APBN 2011 itu,” ujarnya.
Selain itu, Teguh juga sudah menyerahkan bukti notulensi kehadiran rapat, dimana di rapat-rapat e-KTP yang dimulai tanggal 5 Mei 2010 dan 21 Mei 2010, dirinya tidak pernah hadir. “Alasan saya tidak hadir karena harus memimpin Panja Pertanahan Komisi II, soal E-KTP di Panja Kemendagri dan Otda,” ujarnya.
Menurut Teguh, apa yang terkait dengan e-KTP sudah pernah dia jelaskan kepada penyidik KPK. Jika memang nantinya ada pemanggilan dari pengadilan, Teguh menyatakan kesiapannya utnuk bersaksi. “Saya siap dikonfrontir dengan pihak-pihak yang mengaku menyerahkan uang kepada saya,” ujarnya.
Mantan Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa juga tidak mau berkomentar banyak. Menurut dia, saat ini bukan tempatnya untuk mengklarifikasi kepada media terkait proses persidangan e-KTP. Dirinya menghormati dan siap patuh terhadap setiap proses peradilan yang berjalan.
“Di pengadilan nanti, itulah semuanya akan diuji secara terbuka. Semoga kita semua menghormati dan menghargainya,” kata Agun. (*)
LOGIN untuk mengomentari.