JAKARTA – Terus berulangnya aparat penegak hukum menangani kasus korupsi, seolah-olah tidak ada habisnya, menandakan kejahatan penyalahgunaan jabatan ini bagaikan penyakit menular. Apabila kondisi korupsi ini semakin parah menjadi endemik, keutuhan sebuah bangsa terancam hancur.
Pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, mengatakan korupsi apabila tidak ditangani dengan tegas dan membuat jera pelakunya bakal menjadi penyakit masyarakat.
“Jika ini terus terjadi, akan dapat menghancurkan masa depan bangsa karena semakin besar beban negara akibat anggaran yang diselewengkan. Korupsi juga merusak tatanan masyarakat karena semua aktivitas berdasarkan suap atau pungutan liar,” katanya saat dihubungi, Rabu (27/5).
Diketahui, berdasarkan sejumlah literatur, korupsi bersifat endemik adalah korupsi yang menjadi ciri khas di sebuah wilayah. Sebagai contoh, korupsi yang dimaksud adalah aktivitas pejabat publik, baik birokrat dan pejabat terpilih, melalui program dan usulan proyek dengan manfaat publik yang minim guna mendapatkan keuntungan pribadi yang besar.
Pada kasus korupsi endemik itu, pemerintah mungkin jujur, tetapi tidak efisien karena tidak ada yang memiliki insentif untuk bekerja secara produktif. Itu sebabnya, elite menguasai negara dan memberikan pengaruh berlebihan pada kebijakan.
Suparji menambahkan korupsi di Indonesia saat ini semakin menunjukkan awan kelabu, salah satunya karena instansi penegak hukum, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah berubah arah. Sementara itu, penegak hukum lainnya juga belum bekerja secara otentik dalam pemberantasan korupsi. “Peran kelompok masyarakat, seperti mahasiswa, LSM, organisasi masyarakat, aktivis pegiat korupsi juga meredup,” ujarnya.
Masalah Integritas
Menurut mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, penyebab utama korupsi di Indonesia adalah masalah integritas para penyelenggara negara, mulai paling rendah sampai paling tinggi. “Mereka umumnya, ucapan, pikiran, dan tindakanya tidak sesuai, tidak konsisten, tidak sinambung, dan tidak setia pada nilai-nilai kebaikan, terutama nilai-nilai Pancasila,” katanya.
Saut mengatakan para penyelenggara negara tersebut umumnya berbeda bicaranya antara sebelum dan sesudah menjabat. Akibatnya, konflik kepentingan (conflict of intrest) tinggi dan potensi KKN-nya juga makin hari sejalan dengan skala ekonomi Indonesia.
“Akibat conflict of intrest dan KKN ini yang dirusak adalah pemerataan kesempatan, penegakan hukum, dan keadilan. Kondisi ini juga menurunkan kualitas pembangunan dan kualitas SDM. Kualitas persaingan (competitive) baik lokal, nasional, dan global juga turun. Demikian pula kualitas hidup dan lingkungan turun karena undang-undang maupun peraturan tidak konsisten dilaksanakan karena ada pilih kasih,” papar Saut. n ola/uyo/AR-2