ABU Mughith Husain ibn Mansur Al-Hallaj (w. 309/922), seorang ulama sufi pernah membuat tafsiran perihal keengganan ‘Iblis untuk ‘bersujud’ kepada Adam. Jika tafsiran mayoritas mengatakan bahwa keengganan tersebut disebabkan oleh kesombongan Iblis yang merasa lebih hebat daripada Adam, maka Al-Hallaj dalam kitab Thawasin memberi penafsiran yang berbeda. Ia mengatakan, bahwa Iblis bukan sedang melawan perintah Tuhan. Justru penolakan tersebut mengindikasikan cinta yang teramat besar yang dialami oleh Iblis sehingga kata-kata ‘Ana (Iblis) khairun minhu,’ ditafsirkan sebagai, “Ana (Tuhan) lebih baik daripada Adam.” Ketika itu Iblis tidak memaknai perintah Tuhan sebagai perintah, akan tetapi sebagai sebuah test atau ujian untuk melihat sejauh mana kekuatan ketauhidan seorang Iblis.
Tuhan kemudian berkata kepada Iblis, “Istakbarta! Sombong engkau wahai Iblis.!” Iblis menjawab, “Ketika aku mengalami penyatuan dengan-Mu, maka keagungan-Mu (takabbara) dan keperkasaan-Mu (tajabbara) telah menyentuh dalam diriku. Maka ia kemudian dimurkai oleh Allah, namun Iblis – dalam tafsiran Al-Hallaj – tetap teguh pendirian. Baginya, tidak ada keagungan yang layak dihormati, selain keagungan Allah, walaupun dengan resiko dimurkai.
Tafsiran ini walaupun sedikit kontroversial akan dicoba hubungkan dengan watak keras orang Aceh yang terkenal tidak gampang tunduk kepada orang lain. Seorang ulama kharismatik Aceh pernah berkata, “Hari ini, ‘watak’ orang Aceh masih sama dengan sebelumnya. Hanya saja yang membedakan adalah ‘perangai’-nya yang sudah berubah,” maka dapat ditafsirkan bahwa watak keras dan tidak mau tunduk masih tetap bertahan, namun alasan dan tujuannya telah berubah. Jika zaman dahulu orang Aceh tidak mau tunduk karena menurut mereka, orang Aceh hanya layak untuk tunduk kepada Allah SWT. Namun hari ini mereka enggan tunduk kepada orang lain karena dorongan nafsu belaka. Artinya, watak tidak mau tunduk tetap utuh, yang berubah adalah tujuan mengapa mereka tidak mau tunduk.
Bagi orang Belanda, orang Aceh dikenal ‘angkuh’ dan keras kepala. Kita lihat bagaimana Iskandar Muda membangun armada kapal yang sangat besar untuk membuktikan ‘keangkuhan’ tersebut. Keangkuhan disini tentu saja ditafsirkan sebagai bahwa mereka tidak mau tunduk kepada apapun dan kepada siapapun kecuali kepada Allah SWT. Mereka tidak takut kepada konsekwensi apapun kecuali hanya takut kepada Allah SWT, walaupun nyawa menjadi taruhannya.
Dalam literasi Aceh, kita mengenal julukan ‘Aceh Pungoe’ yang menunjukkan ‘nalar gila’ dan ‘berani’ orang Aceh. Namun lagi-lagi persoalaannya, jika dulu mereka ‘menjadi gila’ karena ketakwaan kepada Allah yang memunculkan keberanian, lalu apa alasan ‘kegilaan’ tersebut di hari ini? Apakah ‘kegilaan’ tersebut masih karena Allah SWT atau sudah berubah karena hal-hal lain yang bersifat duniawi? Mungkin, inilah yang disebut oleh ulama kharismatik tersebut sebagai watak yang ‘tetap’ namun perangai telah berubah.
Mengembalikan ‘keangkuhan,’ orang Aceh.
Dalam filsafat strukturalis, dikenal sebuah kajian mengenai kosmologi. Kosmologi secara sederhana difahami sebagai kesadaran manusia sebagai mikro kosmos (khalifah Allah atau pengendali bumi) yang memiliki hubungan dengan alam, dengan masa lalu dan masa depan.
Kosmologi China misalnya, bagaimana orang-orang China mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari dinasti-dinasti China terdahulu, dan mengamalkan warisan leluhur dalam bentuk ajaran-ajaran Confusius dan Lao Tzhe. Kepercayaan orang-orang China pada ramalan Shio menunjukkan bahwa ada hal-hal di luar diri yang mengendalikan mereka. Akhirnya, dalam setiap aktifitas dan tindakan-tindakan orang China mengandung nilai-nilai kosmik mengenai hubungan mereka dengan alam-nya dan tujuan mereka ‘berada’ di muka bumi. Misalnya kesadaran bahwa setiap benda ada gunanya, betapapun rendahnya, setiap hal punya tempatnya di alam ini.” Artinya, mereka menyadari dirinya sebagai bagian dari elemen alam semesta.
Dalam masyarakat Badui (Banten) kita mengenal kosmologi Badui dimana masyarakat Badui menganut faham keseimbangan yaitu, “Kembali kepada kesederhanaan.” Menurut mereka, tugas manusia diciptakan adalah untuk memelihara keseimbangan kosmik dan menyembuhkannya. Salah satu filsafat kosmik mereka adalah “Lojor teu meunang di teukteuk – leuwih teu meunang di tambah. Panjang tidak boleh di potong dan pendek tidak boleh disambung.”
Dalam hal ini, jika kita ingin melihat model kosmologi apa yang dianut oleh Aceh, maka perlu melihat kepada endatu, nalar apa yang mereka pakai untuk mengidentifikasi dirinya. Jika mengutip sya’ir Rafly, “Han geu meukafee ureung Aceh nyan, saweub bumoe nyan tanoh aulia, geutem sut nyawong pudong kheun Allah, keumunan reusam geteung pusaka, maka akan terlihat sedikit kosmologi ‘keangkuhan,’ orang Aceh. Pertama mereka meyakini bahwa dasar orang Aceh adalah Islam (Han geu meukafee ureung Aceh nyan). Kedua, mereka mengidentifikasi wilayah sebagai tanoh aulia. Ketiga, mereka mentahbiskan sebuah mental, berani berkorban nyawa untuk menegakkan kalimat Allah (geutem sut nyawong pudong kheun Allah). Dalam kosmologi Aceh, setidaknya ketiga ini menjadi model watak yang telah mengakar dan mengurat darah dalam diri orang Aceh.
Jika nalar endatu ini diterjemahkan secara benar, maka yang akan kita temukan adalah bangsa Aceh yang memiliki identitas kebangsawanan (tanoh aulia) dan keagamaan (han geu meu kafee). Artinya, kemuliaan negeri dan kemuliaan agama adalah menjadi satu-satunya tujuan kosmik masyarakat Aceh. Konsep pembangunan Aceh-pun mesti memperhatikan minimal dua hal ini. Jika pembangunan mengabaikan kemuliaan negeri dan kemuliaan agama, maka jangan harap bangsa Aceh akan maju dan menjadi makmur. Jika orientasi pembangunan hanya berkisar pada ‘menambah’ pundi-pundi materi tanpa memperhatian kehormatan negeri atau agama, maka jangan harap Aceh akan mampu bangkit dan berjaya. Atau jika pembangunan masih berorientasi copy-paste, artinya tiru-tiru gaya luwa, maka jangan harap Aceh akan dipandang sebagai bangsa yang berkarakter dan berperadaban.
Begitupun mental dan gaya pemudanya. Jika misalnya pembangunan di bidang pariwisata dan pertambangan, tidak memperhatikan prinsip-prinsip kosmologi masyarakat Aceh yang ber-tanoh aulia dan menjaga kehormatan agama, maka yang ada hanyalah kerusakan demi kerusakan. Oleh karena itu, seyogyanya bagi masyarakat dan pemuda Aceh untuk mulai berfikir ulang tentang proyek-proyek rentan seperti pariwisata dan pertambangan, apakah proyek tersebut bisa tetap dijalankan tanpa merusak kosmologi tanoh aulia dan kemuliaan agama atau jangan-jangan memberi implikasi negatif bagi dua dimensi tersebut. Jadi, berhentilah sejenak berfikir tentang ‘pundi,’ dan mulailah mentadabburi diri sebagai bagian kosmik dari alam Aceh. Apakah tindakan kita termasuk ke dalam peumulia tanoh aulia dan peumulia agama? Atau malah sebaliknya. Karena percuma kita kaya ,jika tanah dan agama menjadi rusak binasa. Jika Hasan Tiro pernah berkata, “Tidak akan bangga orang Aceh, jika saudaranya lapar sedangkan dirinya dalam keadaan kenyang.” Maka artinya, tidak ada artinya berlomba-lomba memperpenuh pundi jika harga diri dan kehormatan bangsa dan agama menjadi taruhannya. []