Oleh: Miko Kamal
Pengamat Tata Kelola Kota & Penulis Buku “Berkota Berbangsa Bernegara”
Banyak yang sinis dengan diksi kota internasional yang saya sebut-sebut beberapa minggu belakangan. Tergambar di sebuah group WA. Dibilangnya saya sekadar bermimpi, berhalusinasi dan sejenisnya.
Sebenarnya mereka tidak perlu begitu jika mau agak sebentar meluangkan waktu membaca parameter yang saya buat tentang kota internasional itu. Parameter itu saya tulis dengan sangat jelas dalam artikel yang berjudul “Kota Internasional” yang sudah dipublikasikan dalam buku “Berkota Berbangsa Bernegara”, terbit tahun 2021.
Ini parameternya. Pertama, air layak minum (drinkable water). Di sebuah kota internasional setiap tetes air yang keluar dari kran atau slang bisa langsung diminum. Misalnya anda sedang menunggu pesanan di restoran. Karena terlalu lama menunggu anda kehausan. Anda boleh melipir sebentar ke toilet restoran, dekatkan mulut ke kran di wastafel dalam toilet. Minumlah seperlunya untuk melepas dahaga. Begitulah umpamanya.
Kedua, listrik berkualitas. Di kota internasional, ketersediaan listrik harus terjaga baik. Tidak boleh hidup-mati-hidup. Listrik yang tidak berkualitas pasti mengganggu kelancaran produksi barang dan jasa.
Ketiga, transportasi umum yang layak, termasuk kualitas jalan dan trotoar yang ramah disabilitas. Kota internasional tidak boleh diskriminatif terhadap setiap orang, baik yang tinggal ataupun yang sekadar bertandang ke kota itu. Orang yang tidak beruang cukup membeli kendaraan pribadi harus tetap bisa berpergian dengan aman dan nyaman. Jalannya juga harus berkualitas. Tidak berlubang-lubang, yang di musim hujan dapat berubah jadi kubangan. Trotoarnya juga harus ramah terhadap para penyandang disabilitas dan kelompok yang memiliki keterbatasan mobilitas lainnya.
Keempat, manusia atau orang yang menjalankan prinsip OCH atau Orderliness (keteraturan) Cleanliness (kebersihan) Hospitality (keramahtamahan). Orang yang bermukim di kota internasional harus terbiasa hidup dalam serba keteraturan. Misal, teratur berkendara di jalan raya. Hidup bersih juga harus jadi kebiasaan warga kota, di samping juga ramah terhadap setiap tamu yang datang. Pemilik atau pengelola rumah makan dan restoran yang tidak “mamakuak” tamu adalah satu ciri warga yang memakai prinsip keramahtamahan dalam melayani.
Kota internasional adalah kota layak huni. Itu sebenarnya yang mau saya sampaikan. Apakah saat ini kota kita (Padang) sudah layak disebut sebagai kota internasional? Belum. Parameter yang saya uraikan di atas belum satupun yang terpenuhi. Air kita belum layak minum. Perusahaan Umum Daerah pengelola air minum baru sebatas menyediakan air mandi. Jika sekarang anda nekat meminum air yang keluar dari kran, saya jamin perut anda akan terpilin-pilin beberapa saat setelahnya.
Listrik juga belum memenuhi syarat, tiba-tiba mati tanpa pemberitahuan. Transportasi umum kita, secara umum, juga belum layak. Angkot yang berdentum-dentum, penuh asap rokok dan berhenti sesuka hati masih lalu-lalang di kota kita. Sekarang sudah ada sedikit perbaikan seiring dengan beroperasinya Trans Padang beberapa tahun belakangan. Jalan dan trotoar juga masih banyak yang berlubang dan belum ramah terhadap penyandang disabilitas.
Soal orang adalah masalah terberat. Sebagian besar warga kita belum lagi terbangun jiwanya. Sampah berserakan di mana-mana: di pasar, di tempat wisata dan tempat-tempat keramaian lainnya. Jalan raya amburadul. Klakson berbunyi tiap sebentar, memotong dari kiri atau kanan biasa saja, mengendara tidak di lajur yang sudah ditentukan hal biasa, dan praktik ketidaktertiban lainnya. Di rumah makan dan restoran masih banyak pengunjung yang terpekik-pekik menerima tagihan ketika hendak membayar makanan dan minuman.
Sulitkah mewujudkan kota internasional atau kota layak huni? Sulitkah memenuhi parameter itu? Bagi para pesimistis pasti sulit. Jangankan memenuhi parameter itu, disuruh bangun pagi saja pasti dibilangnya sulit.
Tidak semua penduduk kota ini masuk dalam kategori kaum pesimistis. Saya tidak masuk di dalamnya. Kaum optimistis masih banyak, yaitu orang-orang yang selama ini “galigaman” melihat perkembangan pembangunan kota yang begitu-begitu saja. Baik perkembangan pembangunan jiwa maupun pembangunan badan (fisik). Para optimistis yakin bisa mengembangkan lebih.
Tumpangkanlah harapan perubahan menuju kota internasional atau kota layak huni kepada para kaum optimistis, kepada para pesimistis sekali jangan.(*)