Mari kita bersepakat dulu pada beberapa hal dasar. Kita ingin anak-anak kita berprestasi, termasuk di olahraga. Bahwa anak-anak punya pikiran laksana spons yang bisa menyerap segala hal. Kita ingin melindungi generasi penerus dari berbagai macam bahaya, termasuk bahaya penyakit. Juga fakta bahwa jumlah perokok anak terus naik dari tahun ke tahun.
Kemarin warganet hangat berbincang soal rencana berhentinya audisi bulu tangkis. Sejak 2006, audisi atlet bulu tangkis dilakukan hanya oleh suatu perusahaan rokok. Perusahaan itu memutuskan untuk tak lagi menggelar audisi. Tapi yang diserbu warganet: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI ).
KPAI memang mengajukan protes terkait audisi. Bukan soal audisinya, tapi soal pemakaian logo yayasan milik perusahaan rokok yang notabene serupa logo rokok. Logo itu ada di ribuan kaos anak-anak peserta audisi. KPAI khawatir anak-anak mempersepsikan logo dan menganggap zat adiktif ini sebagai sesuatu yang positif. Patokannya adalah PP soal pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Jangan lupa, KPAI itu lembaga negara yang dibentuk atas perintah Undang-undang Perlindungan Anak lho.
Tapi warganet begitu bersemangat menuding KPAI sebagai pihak yang bersalah. Lantas KPAI diminta bertanggung jawab jika Indonesia tak lagi punya prestasi bulu tangkis, sampai disuruh bikin audisi. Yang dilakukan KPAI adalah menegakkan aturan. Kalau sebuah lembaga negara tak melakukan itu, justru kita yang mesti khawatir.
Kita tak butuh perusahaan penjual zat adiktif untuk memajukan bulu tangkis. Tugas pembinaan, pencarian bibit-bibit atlet baru ada di tangan Kemenpora – bukan KPAI, apalagi perusahaan rokok.