Hotma Kembalikan USD 400 Ribu
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ingin ambil pusing menghadapi perlawanan Miryam S Haryani. Mereka justru membalasnya dengan tidak hadir di sidang perdana praperadilan yang diajukan politikus Partai Hanura tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, kemarin (8/5).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya belum mendapat panggilan praperadilan itu sampai Minggu (7/5). Hal itu yang menjadi alasan KPK tidak menghadiri sidang pembacaan permohonan praperadilan tersebut.
“Kami sudah koordinasikan dengan pihak pengadilan,” kata Febri. Sidang pun ditunda Senin pekan depan (15/5) dengan agenda yang sama. Febri menjelaskan, mau tidak mau pihaknya menghadapi proses hukum tersebut. Tim biro hukum KPK pun sudah mempelajari permohonan praperadilan itu.
Lembaga antirasuah tersebut menegaskan, alasan penetapan Miryam sebagai tersangka pemberian keterangan tidak benar dalam sidang kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) sesuai dengan kewenangan KPK.
Sebagaimana diberitakan, materi praperadilan mantan anggota komisi II yang kini duduk di Komisi V DPR itu merujuk pada kewenangan KPK menggunakan pasal 22 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pasal itu yang dipakai untuk menetapkan Miryam sebagai tersangka. Kewenangan tersebut dinilai kurang pas lantaran pokok perkara, yakni kasus korupsi e-KTP, belum diputus hakim.
Mengenai hal itu, KPK berpendapat bahwa lembaganya berhak menggunakan pasal tersebut meski pokok perkara belum berkekuatan hukum tetap (inkracht). Pendapat itu dikuatkan hakim pengadilan tipikor.
“Hakim menegaskan bahwa KPK berwenang menangani pasal 22, pasal 21, ataupun pasal yang kami kenakan pada tersangka MSH (Miryam, red),” jelasnya.
Pasal 22 dalam penyidikan kasus memberikan keterangan tidak benar pernah digunakan KPK untuk menyeret Muchtar Effendi, orang dekat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Penanganan perkara itu menjadi acuan KPK untuk kembali menggunakan pasal yang sama untuk menyeret Miryam.
Kuasa hukum Miryam, Aga Khan, kecewa dengan sikap KPK yang tidak hadir dalam sidang praperadilan. Menurut dia, hal itu bisa menjadi preseden buruk bagi komisi antirasuah. Sebagai lembaga penegak hukum, kata dia, KPK mestinya menghormati proses hukum. “Klien kami punya hak (mengajukan praperadilan, red),” tuturnya.
Terkait argumen KPK yang berhak menggunakan pasal 22 UU Pemberantasan Tipikor untuk menyeret Miryam, Aga menilai kasus Muchtar Effendi yang menjadi acuan KPK berbeda dengan perkara yang dihadapi kliennya.
“Saya tahu (kalau KPK berhak menggunakan pasal 22), bedanya kan perkara pokok (Muchtar Effendi) sudah putus,” imbuh pria yang juga pernah menjadi kuasa hukum Setya Novanto (Setnov) tersebut.
Sementara itu, sidang e-KTP kemarin menghadirkan advokat kondang Hotma Sitompul sebagai saksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto. Hotma yang pernah menjadi kuasa hukum Sugiharto saat menghadapi gugatan pengusaha yang kalah lelang e-KTP mengaku pernah menerima uang USD 400 ribu dan Rp 150 juta.
Uang itu diberikan Sugiharto sebagai honor jasa pengacara. Namun, kata Hotma, saat diperiksa KPK, dirinya diberi tahu bahwa uang tersebut tidak berasal dari Kemendagri. Setelah itu, pihaknya langsung mengembalikan uang USD 400 ribu ke KPK. “Kami berbesar hati, itu soal kehormatan kami,” ujar Hotma.
Menurut dia, setelah lelang dilaksanakan, ada beberapa peserta yang mengajukan gugatan kepada pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Hanya, Hotma tidak ingat betul siapa saja pihak-pihak yang menggugat itu. “Kemendagri meminta kami untuk membantu mengklirkan itu,” tuturnya.
Selain Sugiharto, ada dua orang lain yang mendatangi Hotma untuk meminta bantuan hukum. Yakni, Irman dan mantan Ketua Komisi II DPR Chaeruman Harahap. Hanya, dia tidak menjelaskan secara detail kapan pertemuan tersebut terjadi.
“Saat itu lelang sudah terjadi. Salah satu yang kalah menggugat dan bikin konpers,” imbuhnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.