KPK tak pernah bekerja tenang sejak awal rezim ini. Namun, kali ini “krisis KPK” terasa lebih berat. Persoalan tak hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam. Salah satu tulang punggung KPK, yakni Direktur Penyidikan Aris Budiman, memolisikan salah satu penyidik KPK, Novel Baswedan.
Alangkah berat badai ke KPK. Kasus penyiraman air keras Novel Baswedan tak kunjung terkuak. Sementara pansus DPR makin merangsek, membongkar segala “aurat” KPK (pernahkah DPR seberani itu melakukan kepada kejaksaan atau kepolisian?).
“Pandawa lima” pimpinan KPK memang harus cari solusi. Tapi jangan kehilangan fokus. Segera tuntaskan megakorupsi e-KTP yang diduga kuat melibatkan banyak orang di Senayan. Tak perlu terbelokkan oleh manuver-manuver yang memang bisa mengganggu konsentrasi.
Percepat proses pemejahijauan Setya Novanto, ketua DPR, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Juga kebut kasus orang-orang DPR lain yang disebut-sebut dalam dakwaan awal kasus e-KTP. Biar saja maneuver-manuver di Senayan diakrobatkan. Tak perlu diambil pusing. Sudah lama suara-suara agar mengutamakan kepentingan pemberantasan korupsi tak didengar.
Kesolidan sikap pimpinan KPK akan membuat lembaga ini tetap bisa bekerja dengan tegar. Kalau dipikir, bukan kali ini KPK “dibeginikan”. Bedanya, di era sebelumnya, pimpinan negara relatif cepat turun tangan untuk melindungi KPK. Kali ini KPK harus lebih banyak mengandalkan kinerja dan independensinya agar masyarakat antikorupsi tetap mendukung.
Rakyat perlu mencatat, siapa yang melancarkan kelicikan anti-KPK. Mungkin mereka tak malu, tetapi siapa tahu bisa dihukum saat pemilu. Sebab, sebagian orang-orang terpilih itu ternyata lebih banyak mewakili kepentingan piciknya sendiri. Ketimbang menyuarakan amanat penderitaan rakyat yang kini susah payah di berbagai lapangan kehidupan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.