Pemberantasan kasus korupsi yang dilakukan Polri menunjukkan tren membaik. Dalam lima tahun terakhir, Korps Bhayangkara itu cukup konsisten menyelesaikan kasus korupsi. Meski begitu, bukan berarti tidak ada catatan yang harus diperbaiki. Kelemahan utama dari kasus korupsi di Polri adalah soal kualitas penyelesaian kasus.
Kasus korupsi yang ditangani kerap kali tidak menunjukkan penyelesaian hingga ke akarnya. Masih sebatas menunjukkan adanya korupsi, belum membongkar penyebab korupsi. Itu yang menjadi pekerjaan rumah (PR) Polri.
Wakil Direktur Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Wadir Dittipikor) Bareskrim Kombes Pol Erwanto Kurniadi mengatakan, sesuai analisis dan evaluasi Tipikor 2012-2016 diketahui ada sejumlah hal yang mempengaruhi penyelesaian kasus korupsi. “Kebijakan internal dan eksternal yang mempengaruhinya,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Padang Ekspres).
Dari internal, lanjut dia, misalnya ada peningkatan anggaran penyelidikan dan penyidikan menjadi Rp 208 juta per kasus. “Dampaknya signifikan karena batasan menjadi lebih longgar,” terangnya. Lalu faktor eksternal yang membuat penyelesaian kasus sedikit berkurang, antara lain berasal dari keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XI/2014 terkait bukti permulaan yang cukup. Sekaligus, masuknya penetapan tersangka dalam objek praperadilan.
Untuk Polda terbanyak menangani dan menyelesaikan kasus korupsi adalah Polda Jawa Timur (Jatim) dengan angka laporan 584 kasus untuk 2012 hingga 2016, disusul Polda Papua dengan 544 perkara. “Penyelesaian yang tertinggi juga dilakukan Polda Jatim dengan angka 475 perkara,” jelas mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman menjelaskan, persoalan jumlah laporan dan penyelesaian kasus korupsi di Polri sebenarnya tidak ada masalah. Bahkan, Polri terbilang memiliki semangat menyelesaikan kasus korupsi. “Namun, persoalan kualitas penyelesaian kasus itu yang perlu untuk diperbaiki,” tegasnya.
Menurut dia, kualitas penyelesaian kasus korupsi itu penting dalam memberikan kesadaran kepada pejabat dan masyarakat akan gentingnya pemberantasan korupsi. Korupsi tidak bisa hanya dilihat adanya pemberi dan penerima ataupun menangkap siapa yang menikmati kerugian negara. “Membongkar kasus korupsi selain harus menguhukum koruptornya, juga harus menjelaskan penyebab korupsi itu terjadi,” tuturnya.
Pertanyaannya, apakah pernah Polri setelah menyelesaikan sebuah perkara korupsi itu menjelaskan secara detail apa sebenarnya penyebab korupsi itu terjadi. Benar-benar niat jahat dari koruptor atau justru ada peran dari sistem yang lemah. “Masalahnya, belum juga merambah soal penyebab korupsi. Soal siapa saja yang terlibat korupsi juga kerap kali kurang terbuka,” jelasnya.
Pekerjaan rumah lainnya untuk Polri dalam menangani kasus korupsi adalah soal keterbukaannya. Menurutnya, kasus korupsi itu menjadi sorotan masyarakat karena uang negara yang berasal dari rakyat yang ditilap. Maka, masyarakat memiliki hak yang kuat untuk mengetahui bagaimana terjadinya korupsi tersebut.
“Kalau tiba-tiba kasus korupsi selesai, tapi awal mula kasusnya tidak jelas. Masyarakat juga mendapatkan apa dari informasi itu. Masyarakat membutuhkan warning atas kondisi di dalam masyarakat sendiri, bila dipandang bahwa korupsi itu juga sebenarnya muncul dari kebiasaan buruk kita semua,” terangnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.