in ,

Kuasa Veto: Gaya Kolonialisme Dalam Tubuh PBB

Oleh: #Rusli Abdul Roni
Sejak awal berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945, lembaga ini digadang-gadang sebagai benteng perdamaian dunia, pengawal keadilan dan wadah demokrasi global. Namun, tujuh dekade lebih telah berlalu, dunia menyaksikan ironi, PBB kerap lumpuh dalam menghadapi tragedi kemanusiaan dan keadilan. Bukan karena ketiadaan mandat, melainkan akibat satu mekanisme yang mengangkangi suara mayoritas iaitu hak veto Dewan Keamanan.
Realitasnya Hak veto yang dimiliki lima negara tetap-Amerika Serikat, Rusia, Cina, Prancis, dan Inggris-menjadi simbol paling telanjang dari ketidakadilan sistem internasional.

Dalam praktiknya, veto bukan sekadar hak istimewa, melainkan alat untuk mempertahankan kepentingan geopolitik segelintir negara. Konsekuensinya sangat nyata, iaitu resolusi-resolusi penting dibatalkan, agresi militer dibiarkan, pelanggaran HAM didiamkan. Sementara itu, jutaan nyawa melayang dan bangsa-bangsa tertindas hanya bisa menonton dari pinggir Sejarah dan demokrasi yang mati.

Demokrasi yang Ternoda

Secara prinsip, demokrasi menuntut kesetaraan suara. Dimana setiap bangsa, besar atau kecil, mempunyai hak yang sama. Namun di Dewan Keamanan, suara ratusan negara dapat terkubur hanya oleh satu veto. Situasi ini menjadikan konsep “persamaan kedaulatan negara” sekadar retorika dan bukan realita. Mungkin kita sependapat bahwa Hak veto pada dasarnya mencabuli demokrasi internasional, karena lima negara diberi kuasa absolut, sementara 188 negara lain sekadar pelengkap penderita saja.

Bahkan lebih ironis lagi, hak veto yang sering digunakan dan dimanfaatkan oleh AS, sering digunakan justru untuk melindungi pelanggaran hukum internasional. Bukankah Amerika Serikat telah berulang kali memveto resolusi anggota PBB? Contohnya resolusi yang mengecam tindakan Israel terhadap rakyat Palestina, meskipun mayoritas anggota mendukung. Rusia menolak berbagai resolusi terkait perang di Ukraina.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Setuju ‘Publisher Right’ Segera Diterbitkan

Cina menghalangi tindakan tegas terhadap pelanggaran HAM di Xinjiang atau Myanmar. Semua ini menunjukkan bahwa veto bukan instrumen perdamaian, melainkan senjata politik, pengahalalan tindakan zalim terhadap yang lemah.

PBB yang Mandul

Kemandulan PBB terlihat jelas ketika berhadapan dengan konflik besar. Dari genosida Rwanda 1994, perang Suriah, hingga krisis Gaza hari ini, PBB hanya bisa mengeluarkan pernyataan “keprihatinan mendalam.

” Resolusi nyata sering kali terhalang oleh veto negara-negara besar yang berkepentingan. Dengan demikian, PBB berubah menjadi macan kertas, yang tampak garang dalam piagam, tetapi ompong di lapangan.

Ketidak berdayaan PBB terhadap kuasa besar pemegang hak veto ini telah merusak legitimasi lembaga ini di mata publik global. Persoalannya, jika organisasi internasional tertinggi hanya berfungsi sebagai arena tarik-menarik kepentingan negara adidaya, lalu di mana harapan bagi rakyat kecil, bangsa tertindas, dan korban perang seperti yang berlaku di Palestina?

Warisan Perang Dunia yang Usang

Menjenguk latar belakang Hak veto, ia lahir dari kompromi politik pasca-Perang Dunia II. Lima negara pemenang perang diberi posisi istimewa untuk menjamin keterlibatan mereka dalam sistem internasional baru. Namun, tatanan global abad ke-21 sangat berbeda. Negara-negara berkembang kini menjadi mayoritas, baik dari sisi jumlah penduduk maupun kekuatan ekonomi. Ironisnya, struktur PBB masih terjebak dalam logika 1945 dan igauan masa lalu.

Baca Juga:  Gudang Penampungan BBM Ilegal di Banyuasin Diamankan

Dunia multipolar saat ini menuntut tata kelola yang lebih adil dan inklusif. Jika tidak, jurang ketidakpercayaan terhadap PBB pasti akan semakin melebar. Tentunya bangsa-bangsa Selatan Global, termasuk Indonesia, kian sadar bahwa suara mereka hanya ornamen jika tidak ada reformasi mendasar ditatanan PBB.

Jalan Terjal Reformasi 

Saat dn ketika ini pertanyaan mendesak adalah: haruskah hak veto dihapus? Idealnya, ya. Namun realitas politik sangat rumit, karena ternyata penghapusannya justeru membutuhkan persetujuan dari kelima pemegang veto itu sendiri. Dengan kata lain, merekalah hakim bagi privilese mereka sendiri-sebuah lingkaran setan yang nyaris mustahil ditembus.

Namun demikian, wacana reformasi tetap penting. Beberapa usulan penting wajib selalu dmunculkan dan disuarakan oleh semua negara anggota. Seperti membatasi penggunaan veto pada isu genosida dan kejahatan perang, memperluas keanggotaan tetap Dewan Keamanan agar lebih representative, atau membentuk mekanisme override, di mana mayoritas suara Majelis Umum bisa membatalkan veto.

Setiap langkah kecil menuju reformasi dapat menjadi pijakan untuk menormalkan kembali marwah demokrasi internasional, termasuk kehormatan negara-negara anggota PBB. Sebab penggunaan hak veto juga telah menghina kridibiliti dan marwah kedaulatan negara anggota PBB.

Tanggung Jawab Moral Global

Seyogyanya kritik terhadap veto bukan sekadar wacana akademik. Ini menyangkut tanggung jawab moral dunia. Selama hak veto dipertahankan, penderitaan rakyat tertindas akan terus berulang. Setiap kali veto dijatuhkan, sejatinya ia telah membunuh demokrsi dan menjatuhkan palu kematian bagi ribuan bahkan jutaan jiwa tak berdosa.

Baca Juga:  PHRI: Pasar 16 Ilir Layak Direnovasi

Dunia dan kita perlu berani menyebutnya dengan jujur, bahwa hak veto adalah mekanisme kolonialisme gaya baru. Ia mengabadikan dominasi dan pengangkangan lima negara atas sisanya yang lain, menghalangi lahirnya dunia yang benar-benar setara. Maka, perlawanan terhadap hak veto bukan hanya perjuangan prosedural, tetapi bagian dari jihad kemanusiaan-upaya menegakkan nilai keadilan universal yang menjadi cita-cita semua agama dan peradaban.

Penutup: Menagih Keberanian Dunia

Walhasil PBB hanya akan relevan jika berani merombak dirinya sendiri. Selama hak veto masih bercokol di dalamnya, maka setiap janji perdamaian hanyalah ilusi. Demokrasi internasional tetap tercabuli, dan PBB tetap mandul di hadapan tragedi dunia.

Sesungguhnya ketika ini, hari ini, dunia menunggu keberanian kolektif untuk menuntut reformasi. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa lembaga yang dibangun untuk mencegah perang justru menjadi sandera segelintir negara.

Sudah sejak lama Hak veto telah mencabuli demokrasi, memandulkan PBB dan menghina negara anggoranya. Saatnya dunia bersatu menuntut sistem internasional yang adil, setara, dan benar-benar manusiawi. Tanpa itu, jargon “we the peoples” dalam Piagam PBB hanyalah sekedar kata kosong yang terus berdarah di medan perang. Wallahu a’lam.

#Dosen & Pengamat Sosial

What do you think?

Written by Julliana Elora

Kasus Dugaan Korupsi Dana Hibah KONI Lahat: Misnan Hartono Kembali Tegaskan, “Klien Kami Tidak Berikan Perintah Pemotongan dana Cabor dan SK kan Panitia Lelang”