‘Kalau belum ramai, belum viral di media sosial, jangan harap pemerintah merespon dan mengambil tindakan.’
Celetukan macam itu kerap kita dengar dalam keseharian. Salah satu contoh terakhir menimpa QZA, seorang murid TK di Bogor. Mei lalu, sang ibu mendapati ada bercak merah di pakaian anak berusia 4,5 tahun itu. Usut punya usut, pelecehan seksual diduga dilakukan penjaga sekolah. Saksi, ada. Bukti sudah diserahkan ke polisi. Olah Tempat Kejadian Perkara pun sudah. Sang ibu juga mencoba bertemu walikota, Dinas Pendidikan sampai Lembaga Perlindungan Anak – demi mencari keadilan bagi putrinya.
Tiga bulan berselang, kasus seperti jalan di tempat. Si predator kabarnya masih dipekerjakan di sekolah itu. Karena keadilan tak kunjung datang, sang ibu banting setir: bercerita ke media sosial. Betul saja, respons langsung bermunculan. Termasuk dari polisi yang hanya bisa berkata: akan serius menindaklanjuti kasus yang sudah masuk tahap penyidikan ini.
Apakah semua mesti viral dulu baru diperhatikan? Haruskah mengadu ke media sosial demi mendapat respons yang semestinya dari aparat hukum?
Pelecehan seksual adalah perkara serius. Belum lagi kalau menghitung dampak traumatis di anak. Bogor, yang notabene menyandang predikat Kota Layak Anak, pun tak kuasa melindungi anak dari predator seksual. Semua mesti bergerak cepat – aparat hukum memastikan kasus segera bergulir, dan publik ikut pasang mata supaya kasus seperti ini tak terjadi lagi.