Bandarlampung (Antarasumsel.com) – Sejumlah pihak di Provinsi Lampung sepakat membangun mekanisme rujukan informal antarlembaga layanan untuk mengefektifkan penanganan kasus pekerja rumah tangga (PRT) dan PRT anak di daerah ini.
Kesepakatan itu merupakan hasil workshop yang dilaksanakan kerja sama Lembaga Advokasi Perempuan Damar dengan International Labour Organization (ILO) Perwakilan Jakarta, di Bandarlampung, Rabu.
Menurut Muhammad Nour dari ILO Jakarta, realitas kondisi PRT di Indonesia masih minim perlindungan hukum sebagai pekerja, meskipun sudah ada Permenaker No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Dia membeberkan, tidak seperti buruh atau pekerja umumnya, berdasarkan data Sakernas oleh ILO (2013) waktu kerja PRT lebih panjang dari waktu pekerja umumnya.
“Hasil penelitian terakhir ILO dan Laboratorium Sosio UI, mayoritas PRT live-in bekerja selama 12,5 jam hingga 16 jam sehari,” katanya pula.
Mayoritas PRT juga menerima upah yang sangat minim, yaitu hanya 9 persen mendapatkan upah Rp1 juta/bulan, sebanyak 30 persen upahnya kurang dari Rp400 ribu per bulan. Bahkan ada PRT yang sama sekali tidak mendapatkan upah. “Karena itu, perlu standar upah minimum bagi PRT,” kata Muhammad Nour lagi.
Ia mengungkapkan pula belum adanya pengakuan PRT sebagai pekerja membuat majikan merasa tidak wajib memenuhi jaminan sosial bagi PRT, seperti ketiadaan jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian.
Padahal kondisi dan risiko kerja terutama untuk PRT yang menginap (live-in) dan PRT anak, selain tidak terpenuhi hak-haknya secara layak, juga berhadapan dengan masalah dan risiko di tempat kerja, seperti tidak ada privasi pekerja, rawan mendapat pelecehan dan eksploitasi, tidak mendapatkan makanan dan minuman yang berkualitas, akses terhadap alat komunikasi minimal, tidak bebas meninggalkan tempat kerja walaupun di luar jam kerja, terisolasi, tidak ada libur, tidak ada kebebasan berorganisasi, dan tidak terlindungi, bahkan menghadapi risiko kematian.
Karena itu, menurut Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan Damar Sely Fitriani, perlu disepakati mekanisme dan sistem dalam penanganan kasus PRT untuk dapat melaporkan kasus yang dialaminya, perlu adanya rumah perlindungan (rumah aman), dan dukungan pendampingan serta advokasi atau pembelaan maupun rehabilitasi.
Menurut Sely, di Indonesia usia minimum untuk masuk pekerjaan rumah tangga sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 2015 adalah berusia 18 tahun.
“Mereka yang masih di bawah 18 tahun atau bahkan di bawah 15 tahun, perlu didorong untuk tidak bekerja, sehingga perlu dukungan layanan dapat meninggalkan pekerjaannya untuk kembali mengakses pendidikan yang diperlukan,” kata Sely pula.
Pertemuan itu dihadiri sejumlah pihak, di antaranya serikat PRT, serikat buruh, lembaga layanan pemerintah, Dinas Tenaga Kerja Kota Bandarlampung dan Provinsi Lampung, LBH Bandarlampung, Peradi Lampung, Polresta Bandarlampung, Dinas Sosial Bandarlampung dan Provinsi Lampung, akademisi dan profesional, serta beberapa LSM/NGO di Lampung.
Editor: Ujang
COPYRIGHT © ANTARA 2017