JAKARTA – Setelah sempat jadi polemik, akhirnya klausul larangan bagi eks narapidana korupsi maju dalam pemilihan kepala daerah tak jadi diberlakukan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan peraturannya terkait itu. Namun, dalam peraturan yang baru diterbitkan, larangan eks narapidana korupsi maju dalam pemilihan kepala daerah tak ada lagi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, mengaku kecewa dengan peraturan baru KPU yang menghilangkan larangan bagi eks napi korupsi bisa maju dalam Pilkada. Meski begitu, Titi memahami posisi komisi pemilihan umum yang memang dalam posisi dilematis. Titi yakin ada tekanan kepada KPU agar tak memberlakukan itu.
“Saya sudah memprediksi peraturan KPU akhirnya tidak memuat larangan bagi eks koruptor maju Pilkada,” kata Titi di Jakarta, Minggu (8/13).
Komisi pemilihan umum, lanjut Titi berhadapan dengan ekosistem politik yang memang tak menginginkan itu diberlakukan. Sehingga terobosan yang dilakukan penyelenggara pemilu pun membentur dinding. Padahal, jika itu diberlakukan, itu menjadi sebuah terobosan yang sedikit banyak menyehatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
“Dengan risiko berlarut-larutnya pengesahan PKPU Pencalonan, karena Kemenkum HAM pasti akan menolak mengundangkan PKPU Pencalonan dengan argumen bertentangan dengan UU dan Putusan MK. Tidak hanya itu jika PKPU yang memuat larangan eks napi korupsi maju Pilkada diberlakukan, akan ada perlawanan. Peraturan ini akan digugat dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). KPU juga pasti dilaporkan ke DKPP karena dianggap bertindak di luar ketentuan hukum,” tuturnya.
Karena itu kata dia, larangan bagi eks narapidana korupsi bisa maju Pilkada, sebaiknya memang tak dimuat dalam sebuah peraturan lembaga. Tapi harus diatur dalam sebuah UU. Sehingga posisinya tidak lemah seperti sekarang ini. Sebab jika dalam bentuk UU, posisinya cukup kuat.
“Sebaiknya memang diatur dalam bentuk UU. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, aturan semacam itu lemah jika hanya berbentuk Peraturan KPU,” kata Titi.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta juga sependapat. Menurut Kaka, jika KPU memaksakan diri tetap memberlakukan larangan bagi eks narapidana korupsi dalam peraturannya, pasti akan terjadi konflik hukum. Sebab memang larangan itu tidak diatur dalam UU. Akan banyak gugatan terhadap aturan tersebut jika terus dipaksakan tetap memasukan klausul larangan bagi eks narapidana korupsi.
“Ini pastinya akan merepotkan kawan-kawan penyelenggara pemilu, terutama di daerah yang akan menggelar Pilkada. Mereka harus menyiapkan Pilkada, tapi juga mesti menghadapi gugatan,” kata Kaka.
Tidak Melanggar
Sementara itu Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan dalam Pilkada 2020 yang tercatat dengan Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota tak bertentangan dengan undang-undang. Dan, ini sudah sesuai dengan hasil rapat dengar pendapat antara, KPU, Bawaslu, Pemerintah dan Komisi II DPR beberapa waktu lalu.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Jakarta), Andi Syafrani kepada Koran Jakarta, di Jakarta, Minggu mengatakan, pihak yang berwenang mengubah aturan untuk melarang mantan koruptor ikut Pilkada 2020 adalah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan DPR RI. Pihak tersebut harus mengatur kembali norma dalam UU Nomor 1 tahun 2015.
Menurutnya, putusan PKPU Nomor 18 tahun 2019 tentang pencalonan dalam Pilkada 2020 menjadi pertimbangan putusan Mahkamah Agung (MA) yang pernah membatalkan PKPU terkait pencalonan calon legislator mantan koruptor. ags/dis/AR-3