in

Leukemia Akut Banyak Jangkiti Anak-anak

Penyakit Leukimia yang dalam bahasa Yunani terdiri dari kata leukos (putih) dan aima (darah), oleh masyarakat umum lebih dikenal sebagai kanker darah. Kanker sendiri merupakan salah satu jenis penyakit yang oleh masyarakat selalu diidentikkan dengan kematian bagi si penderita. Bagi para orang tua, kanker yang menimpa anak merupakan sesuatu yang menakutkan karena belum ditemukan pengobatannya.

Jumlah kejadian kanker pada anak-anak dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2014, tercatat ada 144 kasus, 2015 menjadi 206 kasus baru, dan merangkak naik di tahun 2016, angka kejadian kanker pada anak menjadi 252 kasus baru. Dari sederet kasus kanker yang diidap oleh anak-anak, hampir setengah dari mereka menderita kanker darah atau leukemia. Jenis kanker darah yang paling banyak diderita adalah Leukemia Limfoblastik Akut (LLA).

Guru Besar bidang Ilmu Spesialis Anak Fakultas Kedokteran, I Dewa Gede Ugrasena, dalam orasi ilmiahnya Strategi Meningkatkan Kesintasan Kanker pada Anak dalam Situasi yang Penuh Tantangan menyampaikan jumlah kasus penyakit LLA tersebut dikumpulkan berdasarkan pasien yang masuk di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo (RSDS). Bila pada tahun 2015 ada 106 kasus baru, tahun 2016 ada 108 kasus baru yang ditangani di RSDS. Meski jumlah kasusnya terus meninggi, penyebab penyakit ini belum bisa diketahui.

Bila darah pada orang dengan penyakit tuberkulosis atau lepra diperiksa, akan diketahui penyebabnya, sementara penyebab penyakit kanker termasuk leukemia, belum diketahui. Mengutip penelitian para ahli, Ugrasena menyatakan penyakit leukemia kemungkinan disebabkan zat-zat kimiawi dan fisis. Anak-anak cukup rentan mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan pengawet. Dugaannya, bahan pengawet tersebut bisa menyebabkan kanker pada anak.

Di sisi lain, anak-anak yang menderita kanker darah juga banyak ditemukan seusai ledakan reaktor nuklir di Chernobyl, Ukraina, tahun 1986 lalu. Oleh karena itu, dihipotesiskan oleh para ahli bahwa atom atau fisika bisa menyebabkan kanker. Ugrasena mengingatkan kepada para orang tua perlu jeli dalam melakukan deteksi dini pada anak-anak. Gejala awal yang terlihat pada anak dengan leukemia adalah peningkatan suhu tubuh selama kurun waktu dua minggu dan disertai perdarahan pada kulit dan mukosa.

“Orang tua harus bisa membedakan apakah ini kanker padat atau kanker darah. Kanker yang solid itu bisa dikenali. Ketika memandikan, jika ibu jeli, dia akan merasakan benjolan di tubuh anaknya,” terang dia. Untuk itu orang tua disarankan segera datang ke tempat fasilitas kesehatan layanan kanker apabila gejala-gejala tersebut sudah ditemukan pada anak.

Ugrasena melanjutkan, para dokter spesialis memiliki standar protokol dalam mengobati anak dengan kanker darah. Namun, ada sejumlah penyebab kegagalan dalam pengobatan kanker darah, salah satunya adalah cacat genetik. Cacat genetik atau polimorfisme adalah kelainan genetik yang dibawa oleh anak sejak awal kehidupan. Jumlah kasus polimorfisme kanker darah cukup banyak. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia cabang Jawa Timur itu menyebutkan kasus polimorfisme mencapai sepertiga dari jumlah kasus LLA.

Selain itu, polimorfisme mengakibatkan obat-obat kemoterapi tak mempan dalam menghabisi sel-sel kanker. Dalam penelitian berjudul Single Nucleotide Polymorphisms of Interleukin-15 is Associated with Outcomes of Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia yang diterbitkan di jurnal Paediatrica Indonesiana tahun 2016, Ugrasena dan tim meneliti resistensi penyakit tersebut terhadap obat metotreksat (MTX) yang digunakan dalam kemoterapi.

“Mereka nggak mempan. Jadi, pasien-pasien leukemia ini biasanya diperiksa terlebih dulu apakah ada polimorfisme. Kalau sekarang kita tahu ada resistensi, kita ganti dengan obat lain yang sejenis,” papar lulusan terbaik Sekolah Pascasarjana Unair itu.

Banyak Kendala

Pengobatan penyakit leukemia yang banyak diderita anak-anak berusia lima tahun itu bukan berarti tak kerap menemui keterbatasan. Jaminan kesehatan nasional tak mencakup pemeriksaan imunofenotipe. Pemeriksaan imunofenotipe diperlukan untuk mengetahui kondisi pasien sehingga dokter bisa menentukan golongan risiko penyakit. “Dengan pemeriksaan imunofenotipe, kita bisa menggolongkan apakah pasien termasuk high risk atau tidak.

Ini menentukan terapi yang akan kita berikan,” kata Ugrasena yang juga menjabat sebagai Kepala Instalasi Rawat Inap Anak RSUD Dr. Soetomo itu. Pemeriksaan tersebut memakan biaya senilai 1,2 juta rupiah untuk satu kali periksa. Dengan biaya pemeriksaan yang tinggi, kondisi tersebut bisa menyulitkan pasien dengan ekonomi kurang mampu.

“Kita bisa melakukan, cuma pemerintah atau rumah sakit tidak mau menyediakan karena biayanya mahal dan BPJS tidak mau menanggung sehingga tidak menjadi pemeriksaan rutin,” terang Ugrasena. Selain persoalan pemeriksaan, keterbatasan stok obat kemoterapi juga menjadi faktor penyebab angka kesintasan anak dengan leukemia rendah.

Menurut Ugrasena, ketersediaan obat tak sejalan dengan keinginan pasien untuk sembuh. Menurutnya, ada tiga hingga empat jenis obat kemoterapi yang tidak tersedia, salah satunya jenis obat metotreksat. “Pasien-pasien sekarang itu kebingungan. Mereka akhirnya membeli ke Malaysia karena ingin sembuh. Obat tersebut sebenarnya di-cover oleh BPJS Kesehatan. Hanya secara nasional, obat itu tidak bisa masuk ke Indonesia. SB/E-3

What do you think?

Written by virgo

Ngilu, Orang – Orang Ini Memiliki Tindikan Tubuh Paling Ekstrim! Nomor 6 Parah Abis!

Gila! 10 Orang Ini Membawa Benda Gak Lazim Dengan Motor, Apa Gak Takut Jatuh Ya?