Melongok ke belakang, 55 tahun silam, media yang terbit di Singapura menuliskan; lonceng kematian Asian Games telah berbunyi di Jakarta. Akankah muncul berita yang sama, tahun depan?
Ketika itu, sebagian negara pesimistis terhadap kemampuan Indonesia sebagai tuan rumah penyelengara Asian Games IV/1962. Meski Indonesia sudah 17 tahun merdeka, namun situasi negeri tidak menentu. Untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat saja masih susah, apa pula daya untuk menggelar hajatan besar yang kala itu melibatkan 16 negara dengan 1.460 atlet.
Namun hal itu terbantahkan oleh karya besar yang dipersembahkan Soekarno, presiden kala itu. Beliau mampu membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara besar yang hebat.
Pemerintah memaksa negara lain membuka mata lebar atas kemampuan Indonesia. Stadion Utama Bung Karno termasuk stadion terbesar di Asia kala itu, bahkan masih dibanggakan sampai saat ini, menjadi saksi sejarah tempat dilangsungkanya pembukaan pesta akbar olahraga empat tahunan di kawasan Asia, beserta fasilitas lainnya di sekitar Kompleks Gelora Bung Karno.
Bahkan untuk mendukung iven tersebut, dilakukan pembangunan besar lainnya, di antaranya jembatan Semanggi, Tugu Selamat Datang dan lainnya.
Pembangunan infrastruktur dikerjakan secara cepat, ada yang kurang dari setahun. Konon ada delegasi Asian Games dari Jepang yang berdecak kagum dan tak henti-hentinya memberikan pujian terhadap perubahan dan perkembangan pembangunan yang sangat cepat dan pesat kala itu.
Apa rahasianya? Presiden Soekarno menekankan, biaya tidak jadi persoalan asalkan harga diri dan martabat Indonesia di mata dunia diakui. Hasilnya? Persiapan dan pelaksanaan tak ada kendala. Bahkan di samping Indonesia sukses sebagai tuan rumah, juga sukses sebagai kontingen. Indonesia bertengger di peringkat dua di bawah Jepang, sebagai juara umum.
Posisi Indonesia pada Asian Games IV tahun 1962 merupakan posisi terbaik dan emas terbanyak yang diraih kontingen Indonesia. Tragisnya, sejak Asian Games di Jepang, tahun 1994, Indonesia tak pernah lagi masuk sepuluh besar dan perolehan medali emas tak pernah menembus dua digit sejak 1962.
Asian Games terakhir, tahun 2014 di Incheon Korea, Indonesia hanya mengemas 4 emas, 5 perak, 11 perunggu. Menempati posisi ke-17. Jauh di bawah Thailand (peringat 5), Malaysia (14), Singapura (15).
Sejauh mana kesiapan Indonesia menghadapi Asian Games tahun depan? Di satu sisi, SEA Games yang secara resmi dimulai hari ini, di Kualalumpur, Malaysia, menjadi acuan untuk mengukur kemampuan prestasi atlet-atlet Indonesia, meski ruang lingkupnya lebih kecil.
Sejak ikut tahun 1977 hingga 2015, Indonesia sangat perkasa. Memegang 10 gelar juara umum, di bawahnya Thailand (7 kali), namun jika berkaca pada data teknis yang lebih detail, sebenarnya ada kekhawatiran bagi kita. Kekhawatiran itu dikarenakan dua SEA Games terakhir, Indonesia sama sekali tak masuk tiga besar dari 11 negara yang berlaga.
Pascajuara umum pada SEA Games 2011 di Palembang dan Jakarta, Indonesia tak berdaya lagi. Saat SEA Games di Myanmar 2013 dan Singapura 2015, sama sekali tak masuk tiga besar. Kedua gelaran terakhir tersebut disapu bersih Thailand.
Lalu, adakah hubungan antara jadi tuan rumah Asian Games 1962 dan 2018 bagi Indonesia? Seharusnya ada. Titik temunya ada pada pembangunan karakter bangsa. Jika dikaitkan dengan sikap orang Minang, sama halnya dengan semangat yang digelorakan mantan Gubernur Sumbar Harun Zein, mambangkik batang tarandam.
Pembangunan karakter bangsa melalui olahraga, tidak bisa secara setengah-setengah. Harus fokus dan dilakukan berkesinambungan sejak usia dini. Anak-anak harus memiliki gerak dasar yang benar. Sistem pembinaan dan kompetensi berjenjang harus dilaksanakan.
Namun walaupun Asian Games 2018 hanya tinggal kurang dari setahun, namun “denyut” sebagai negara penyelenggara Asian Games belum terasa, apa lagi “Deman Asian Games”-nya. Hanya sebagian saja mungkin yang merasakan atau sekadar mengetahuinya. Kegagalan sosialisasi ini seakan sejalan dengan pembangunan keolahragaan kita.
Semua kita mengetahui bahwa dalam pembinaan olahraga, rumusannya jelas dan standar. Komitmen x Motivasi + Sistem Latihan. Sistem latihan sangat ditentukan kompetensi pelatih. Sangatlah tepat, walaupun agak terlambat, untuk menangani Pelatnas Satlak Prima menghadirkan Robert Jhon Ballard dan Ranil Harsana menjadi konsultan kontingen Indonesia menghadapi Asian Games 2018. Ini langkah maju. Namun, baru satu sisi. Saya mengenal kapasitas dan kapabilitas keduanya, jauh sebelum tenaga dan pikiran mereka dipakai kontingen PON Sumbar di Riau tahun 2012.
Harapan kita, semoga prediksi 55 tahun silam, tidak berdentang di tahun depan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.