in

MA Negeri 1 Sijunjung, Self Harm dan Penurunan Mental Anak

Adhia Rizki Ananda
GURU MAN 1 SIJUNJUNG

Tidak begitu terkejut sebenarnya, ketika membaca judul yang diturunkan di halaman depan Padang Ekspres, pada hari kamis 16 Maret 2023 “Puluhan Siswa SMP Sayat Diri”. Sebagai guru yang hampir setiap hari membersamai siswa penulis dapat mengamati gejala penurunan mental ini di kalangan siswa.

Hanya saja tidak sampai terjadi kekerasan menyakiti diri sendiri (self harm), sebagaimana yang terjadi di Bengkulu. Di mana peristiwa puluhan siswa SMP sayat diri terjadi. Berita ini mesti menjadi warning, bagi orangtua, sekolah dan masyarakat di Sumatera Barat.

Sebab bisa saja peristiwa ini turut menjalar, menular menjangkiti pelajar-pelajar di Sumatera Barat. Walaupun dikabarkan tidak ada korban jiwa tapi perbuatan self harm merupakan gejala menurunnya mental anak yang mesti diantisipasi.

Pembangunan dan kemajuan teknologi tidak hanya memberikan dampak positif. Namun turut memberikan dampak negatif yang harus diwaspadai. Pembangunan dapat melahirkan permasalahan (urban) yang akan berdampak negatif bagi anak, di mana kedua orang tua yang sibuk bekerja mengabaikan kepentingan anak untuk mendapat kasih sayang dan pengajaran keluarga dari orang tua.

Dalam perjalanannya, anak dewasa tanpa pendampingan yang memadai, anak belajar dari apa yang dia lihat di televisi, buku-buku dan media sosial yang tidak tersaring kontennya. Ketika terjadi permasalahan terahadap anak orang tua telambat untuk tanggap dan sigap mendampingi anak dalam menghadapi permasalahannya.

Keterlambatan ini menyebabkan anak yang notabene masih labil mentalnya mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan masalahnya. Misalnya dengan jalan kekerasan dan bunuh diri bisa saja menjadi jalan yang ditempuh sebagaimana kejadian di Bengkulu tersebut.

Ketiadaan sarana bermain dan bersosialisasi mengurung anak dalam ruang-ruang sempit kamar, sehingga tidak ada tempat untuk menyalurkan energi dan emosinya dalam kegiatan yang menggerakkan motoriknya.

Tontonan cengeng dari televisi dan konten-konten tidak bermutu yang tujuannya hanya mengejar viewer di youtube, tik tok dan instagram, konten flexing (pamer kekayaan), konten menangis putus cinta (sad boy), berperan besar menyumbang permasalahan penurunan mental anak.

Sudah jamak disaksikan anak yang kalah dalam perlombaan menangis kecewa, terinpirasi ajang pencarian bakat di tv yang dikemas dramatis untuk menarik penonton yang kemudian ditiru oleh anak-anak yang turut pula menangis dan terharu jika kalah dalam lomba.

Padahal pada mereka harus dibangun mental yang kuat, siap menang dan siap menerima kekalahan dalam hal apapun.  Perilaku self harm atau melukai diri sendiri yang terjadi di Bengkulu merupakan puncak gunung es penurunan mental siswa yang tampak di permukaan.

Dan masih ada permasalahan lain yang tidak tampak dan mesti diantisipasi oleh seluruh pihak. Keluarga harus bisa menjadi tempat yang hangat bagi anak, memberikan kenyamanan, rasa aman dan optimisme. Orang tua harus mendampingi dan hadir setiap tumbuh kembang anak terutama membangun daya juang, mental yang kuat dan tahan banting.

Orang tua mesti responsif terhadap setiap permasalahan anak sehingga anak tidak merasa terasing dan merasa sendiri sehingga tidak mudah dihinggapi, rasa prustasi, stres dan  kecemasan berlebihan sehingga melakukan tindakan kekerasan hingga melakukan self harm.

Selain itu anak tidak mesti mencari tempat lain untuk mendapatkan kasih sayang seperti pacar (kekasih) dan lainnya. Orang tua harus memahami kehidupan hari ini, tidak hanya di dunia nyata, pengawasan juga mesti dilakukan di dunia maya.

Dalam amatan penulis sebagai pendidik, ada banyak orang tua yang tidak mampu mengakses apa yang diakses anaknya. Ada gap atau jarak pengetahuan anak dan orang tua tentang teknologi (gaptek) jarak ini mengakibatkan orang tua tidak mampu mengawasi anaknya di dunia maya.

Ada pula orang tua yang menganggap smartphone anaknya adalah ruang privat yang tidak boleh dia masuki. Karena anggapan dilarang dalam UU ITE, padahal tidak ada satu pasalpun dalam UU ITE yang melarang orang tua mengawasi smartphone dan media sosial anaknya.

Pemahaman ini anomali di mana dalam UU Perlindungan Anak pasal 26 menyebutkan “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindingi anak dan memberikan pendidikan karakter, penanaman nilai budi pekerti pada anak” .

Negara juga mesti hadir dalam melindungi anak dari konten-konten yang tidak baik dan bijak, pengawasan terhadap acara televisi yang tidak layak ditonton, dan buku-buku yang tidak dibaca oleh anak terutama yang berdampak pada pelemahan mental anak.

Pemerintah mesti mendorong pelaku industri televisi dan penerbit menghadirkan konten-konten yang mampu membangun sikap mental yang kuat bagi anak. Misalnya dengan memperbanyak cerita-cerita kepahlawanan dan sejarah perjuangan bangsa.

Sekolah sebagai ujung tombak pembangunan mental manusia harus memiliki kreativitas, kurikulum yang baik. Kurikulum yang mencerdaskan, mendewasakan dan membangun mental anak yang siap tanding. Guru juga harus mampu menjadi motivator dan memberikan inspirasi yang baik bagi anak.

Hal ini penting sekali dalam rangka menyiapkan indonesia emas 2035.  Semoga permasalahan ini membuka mata semua pihak, bahwa ada masalah penurunan mental pelajar yang mesti diselesaikan terutama dalam menyongsong Indonesia emas 2035 yang bertumpukan pada generasi z hari ini. Allahu a’lam bissawab. (Adhia Rizki Ananda, GURU MAN 1 SIJUNJUNG)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Alphard Bea Cukai Masuk Apron, Andre Rosiade: Otorita Bandara yang Mengizinkan

“Killers of the Flower Moon” dari Martin Scorsese dirilis Oktober 2023