in

Maklumat Dua Tahun Mahyeldi-Audy

Rafnel Azhari
Dosen Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor IPB University

Saya baru menyadari jika duet gubernur dan wakil gubernur Sumatera Barat telah menyelesaikan tahun kedua kepemimpinannya, ketika sebuah grup WhatsApp heboh berdiskusi soal kinerja gubernur dan wakil gubernur Sumbar.

Saya dapat memahami, bahwa banyak orang menjadi tidak sabar dengan pemimpinnya. Mereka ingin kerja nyata segera terlihat, perbaikan harus dirasakan sesuai janji kampanye dulu. Meski demikian tak pelak terkadang evaluasi yang terjadi terhadap sang pemimpin lebih banyak mengedepankan sentimen semata, bukan pengetahuan dan nalar yang lebih komprehensif serta itikad untuk perbaikan.

Titik paling krusial yang paling banyak disoal adalah anggaran 10 persen dari APBD Sumbar untuk sektor pertanian. Bahkan, beberapa orang pengamat dalam sebuah dialog di stasiun televisi lokal menyerang kebijakan tersebut, mereka menilai kebijakan ini tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi, sehingga tidak perlu menjadikan sektor pertanian prioritas di Sumbar lagi, mari kita fokus ke sektor lain, ujarnya.

Pengamat itu dengan terang-benderang menunjuk sektor pariwisata. Tulisan ini akan fokus menjelaskan dimana titik keliru argumen ini dan kenapa kebijakan afirmatif 10% anggaran APBD untuk sektor pertanian dari Mahyeldi-Audi adalah ibarat cahaya yang menyala ditengah gelap gulita yang menyergap.

Konsesus Keadilan untuk Pertumbuhan Inklusif
Jika ada sektor yang berkali-kali dalam sejarah tampil menjadi penyelamat perekonomian bangsa, maka jawabannya adalah sektor pertanian.

Peristiwa tersebut nampaknya harus kita tunjuk sejelas mungkin hari-hari ini, pertama sejarah telah mencatat ketika krisis ekonomi besar tahun 1998 melanda Indonesia, sektor pertanian bisa bertahan dan bahkan tetap mengalami pertumbuhan positif.

Pada saat itu sektor pertanian tumbuh sekitar 0,26%, padahal ekonomi nasional sedang ambruk ke titik nadir.

Begitu juga ketika krisis ekonomi tahun 2008 melanda, banyak sektor di hampir seluruh dunia mengalami kelumpuhan, sedangkan sektor pertanian masih berdiri tegap, bahkan tercatat tumbuh signifikan dari 13,7% tahun 2007 menjadi 14,4% tahun 2008.

Sampai pada krisis Covid-19 yang baru-baru ini terjadi, sektor pertanian kembali menjadi penyelamat perekonomian nasional. Fakta ini menunjukkan bahwa sektor pertanian adalah salah satu sektor yang sangat resilien dalam menjaga dan memandu perjalanan panjang bangsa ini.

Maka tidak salah, Francois Quesnay (1694-1774), seorang ekonom kenamaan yang berkontribusi merumuskan Tableu Economique menyebut dengan lantang bahwa sektor pertanian adalah “Ibu Kandung Pembangunan”.

Pentingnya peran sektor pertanian, tidak hanya dalam perekonomian nasional. Bagi Sumatera Barat yang separuh penduduknya menggantungkan penghidupan pada sektor ini, sektor pertanian jelas adalah sektor basis dan urat nadi perekonomian Sumbar.

Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumbar pada triwulan 4 tahun 2022 masih menjadi yang terbesar yakni 21,24 persen, diikuti oleh sektor perdagangan sebesar 16,40 persen. Bahkan sumber pertumbuhan ekonomi Sumbar yang terbesar pada triwulan 4 tahun 2022 masih disumbang oleh sektor pertanian yakni sebesar 1,23 persen (BPS, 2023).

Jika dibandingkan tahun 2021 pertanian tumbuh jauh lebih baik, jika di tahun 2021 pertanian hanya tumbuh 2,18 persen maka ditahun 2022 sektor pertanian tumbuh 3,52 persen. BPS mencatat, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni meningkatnya produksi padi Sumbar 7,82 persen begitu juga dengan meningkatnya produksi peternakan dan produksi perikanan.

Jadi rapor Mahyeldi-Audy dalam konteks pertumbuhan sektor pertanian tidaklah buruk. Sektor ini membuktikan dirinya menjadi basis yang baik bagi perekonomian sumbar. Perlu akselerasi dan perbaikan adalah persoalan lain, tapi memadamkan nyala api semangat dan mandat moral yang ditunjukkan Gubernur untuk petani dan pertanian sumbar adalah sesat pikir yang harus diluruskan.

Indonesia dan tentunya juga Sumatera Barat memang tidak bisa lari dari hukum transformasi ekonomi. Kontribusi sektor pertanian akan terus menyusut seiring kemajuan ekonomi. Namun proses transformasi itu harus dilalui Sumatera Barat dengan upaya penciptaan nilai tambah yang tetap berpijak pada sektor hulu (pertanian).

Oleh karena itu petani tidak boleh dibiarkan hanya sampai pada produksi primer semata, petani harus dibantu untuk bisa mewujudkan nilai tambah. Penciptaan nilai tambah untuk ekonomi petani memerlukan koordinasi dan kerja sama antar sektor, ini jelas bukan hanya agenda dinas pertanian, peternakan, kehutanan ataupun perikanan semata, apalagi hanya agenda gubernur saja.

Tetapi ini memerlukan kesolidan dan visi bersama. Semua sektor lain perlu terlibat aktif dan bekerja dalam genderang yang sama. Ada juga bupati dan wali kota sebagai penguasa lokal yang juga memiliki anggaran untuk bekerja dalam derap ini. Sehingga dengan demikian anggaran 10% untuk pertanian itu adalah stimulus kerja bersama guna memperkuat ekonomi sumbar dan menyejahterakan warganya.

Membangun ekonomi Sumbar tanpa keterkaitan dengan pertanian dan apalagi meninggalkannya adalah bunuh diri kebijakan yang hanya akan memperlebar ketimpangan dan memperburuk kemiskinan Sumatera Barat. Sehingga dengan demikian kebijakan politik anggaran 10 persen untuk sektor pertanian adalah suatu syarat wajib untuk mendorong keadilan dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif di Sumbar.

Gubernur dan wakil gubernur telah memulai satu konsesus “kecil” dalam membangun ekonomi sumbar. Memang belum cukup kuat, banyak faktor lain diperlukan, tapi beliau telah memulai mencoba satu langkah baik yang harus kita dukung.

Hal lain yang tidak kalah penting, kenyataan bahwa sektor pertanian juga adalah soal yang terhubung langsung dengan kemanusian. Sumatera Barat adalah penyangga utama kebutuhan pangan yang bukan hanya untuk warga lokalnya, tetapi juga harus memenuhi kebutuhan provinsi tetangga seperti Riau, Kepulauan Riau dan Jambi. Ini persoalan yang tidak bisa dibaca dengan indikator pertumbuhan semata, ini adalah soal memberi makan manusia untuk kelanjutan peradaban.

Saat ini penduduk dunia menuju 10 miliar orang pada 2050, data menunujukkan lebih dari 2 miliar orang masih tidak memiliki akses teratur pada pangan yang cukup, aman dan bergizi. Indonesia sendiri sedang dihadapkan pada triple burden of malnutrition atau tiga masalah gizi sekaligus yakni gizi kurang (stunting), obesitas, dan kurang gizi mikro (KGM) atau yang dikenal sebagai kelaparan tersembunyi. Jadi kepedulian terhadap sektor pertanian adalah mandat moral kepada pemimpin yang bukan hanya ditujukan untuk membangun ekonomi tapi memastikan negara bersama rakyat bisa dan mampu memproduksi pangan yang cukup untuk memberi makan kita semua.

Petani Sumbar yang merupakan separuh dari warga provinsi ini adalah pahlawan pangan yang bekerja ditengah semua keterbatasan, mereka berjuang untuk tetap bertani, memenuhi kebutuhan pangan kita ditengah ketiadaan pupuk, minimnya infrastruktur irigasi dan harga-harga yang terus mencekik.

Petani Sumbar telah berjuang semenjak lama membangun sawah-sawah mereka, membangun ladang-ladang mereka dan membangun kandang-kandang ternak mereka dengan upaya sendiri.

Sekarang, baru dua tahun ini pemerintah provinsi ingin mencoba hadir melalui politik anggaran keberpihakkan kepada sektor pertanian, tapi sebagian suara telah ingin mematahkannya. Nyala api cahaya ini tidak boleh padam, gubernur dan wakil gubernur harus tetap berdiri disisi petani Sumbar untuk membangun ekonomi sumbar yang adil dan menyejahterakan semuanya.

Sebagai seorang scholar pikiran kita tidak boleh hanya dibekuk oleh indikator-indikator pertumbuhan semata, angka -angka inflasi dan semacamnya. Karena kita adalah scholar bukan petugas kredit. Seorang scholar melihat dalam dimensi peradaban.

Gubernur telah memulainya. Mari meluaskan pandangan untuk kesejahteraan dan keadilan ekonomi Sumatera Barat yang kita cintai ini. (*)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Stasiun Kereta Api Alai Padang Dilengkapi Ruang Tiketing, Mushalla dan Toilet

PLN Gandeng Kementerian ATR/BPN Percepat Sertifikasi Lahan