in

Manajemen Pangan Belum Terintegrasi dengan Baik

» Badan Pangan Nasional harusnya sudah terbentuk pada awal 2018.

» Kapasitas produksi pangan dalam negeri harus dihitung dengan cermat.

JAKARTA – Indonesia dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi seharusnya sudah memiliki Badan Pa­ngan Nasional sebagai pangkal untuk merumuskan peta jalan atau road map kemandirian pangan, bahkan kedaulat­an pangan seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Sebab, kebutuhan akan pangan terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah penduduk.

Berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indone­sia pada 2019 lalu diperkirakan sebanyak 267 juta jiwa dan tahun ini meningkat menjadi 269,6 juta jiwa, lalu pada 2045 diproyeksikan mencapai 319 juta jiwa.

Sementara itu, produktivitas pangan dalam negeri, seperti padi, jagung, ke­delai cenderung menurun. Data dari Ke­menterian Pertanian menyebutkan pro­duksi padi pada 2018 mencapai 59,20 juta ton dan pada 2019 diproyeksikan hanya 54,60 juta ton atau turun 7,77 persen.

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan UU Pangan men­syaratkan perlunya Badan Pangan Nasio­nal yang harus dibentuk tiga hingga lima tahun setelah UU lahir atau awal 2018.

Badan Pangan yang dipimpin pejabat setingkat Menteri Koordinator (menko) langsung bertanggung jawab kepada pre­siden dan bertugas mempersiapkan tar­get produksi nasional dalam negeri sebe­sar 70 persen dari kebutuhan pada 2024.

Menko Pangan itu memiliki kewe­nangan merumuskan alokasi lahan yang tepat, jenis tanaman, dan infrastruktur yang dibutuhkan dengan mengkoordi­nasi menteri terkait.

“Sebenarnya dengan ada Badan Pa­ngan Nasional menjadi momentum un­tuk membuat peta jalan pembangunan pangan di Indonesia,” kata Said

Sementar itu, Ekonom dari Universi­tas Indonesia (UI), Rizal E Halim, yang dikonfirmasi Koran Jakarta, Minggu (21/6), mengatakan tanpa road map sebagai acuan untuk mengarahkan pe­ngembangan produktivitas, maka pa­ngan tetap menjadi masalah utama yang tidak pernah terselesaikan. “Pangan menjadi masalah pada waktu-waktu ter­tentu akibat belum baiknya manajemen pangan nasional,” kata Rizal.

Kelangkaan pangan di masyarakat, jelas Rizal, menjadi realita yang ber­ulang-ulang terutama saat Idul Fitri di mana harganya melonjak karena mana­jemen pangan belum terintegrasi de­ngan baik. “Artinya, persoalan pangan tidak hanya diurus Kementerian Perta­nian, tapi melibatkan kementerian atau lembaga lainnya,” kata Rizal.

Manajemen yang kurang baik itu, menyebabkan importasi mendominasi kebutuhan pangan nasional. Demikian juga dengan alur dan informasi pangan dari dan antarpulau belum dikelola de­ngan baik, serta minimnya pengem­bangan teknologi pangan di pendidikan tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan kegiatan rente (rent seeking) di sektor pa­ngan terlalu kuat dan sulit dikendalikan.

Mafia Pangan

Lebih lanjut, Rizal menjelaskan be­lum terealisasinya road map pemba­ngunan kemandirian pangan di Indone­sia karena terganjal banyak faktor, mulai dari hulu hingga hilir. “Keseriusan pe­merintah menciptakan kedaulatan pa­ngan tak akan pernah terwujud karena terhalang mafia pangan,” katanya.

Dari sisi regulasi, kendati ada niat pemerintah melakukan kemandirian pangan, tetapi selalu ada yang meng­halangi. “Mereka inilah mafia pangan. Adanya bukan hanya saat pandemi saja, saat kondisi normal pun tetap saja ada. Maka pilihannya impor, trading. Trad­ing juga ada masalah, jadi mafia ini ada di mana-mana, menghambat kerja pe­merintah,” katanya.

Berdasarkan laporan terbaru dari Ke­menterian Hukum dan HAM, pengua­saan lahan pertanian masih didominasi oleh perusahaan. Penguasaan lahan kor­porasi perhutanan menguasai 71 persen, korporasi lainnya 16 persen, konglomerat 7 persen dan petani kecil cuma 6 persen.

Kepemilikan lahan petani yang sa­ngat kecil itu menyebabkan kedelai se­bagai bahan baku tempe dan tahu saja didominasi impor, padahal makanan masyarakat kelas bawah.

Agar situasi tersebut tidak berla­rut-larut, dia mengimbau agar peme­rintah memperbaiki sektor hulu. Sisi produksi harus dibenahi dengan meng­hitung berapa pangan yang bisa di­hasilkan. “Jika tidak begitu, bagaimana kita bisa mengetahui kemampuan kita. Berapa yang diimpor dan berapa yang disediakan dari dalam negeri,” katanya. uyo/ers/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

Bukit Seguntang Butuh Sejarah Yang Otentik, Bukan Sejarah Berdasarkan Katanya

Audy Joinaldy Bantu Perlengkapan Olahraga Pemuda Sungai Durian, Solok