in

Saatnya Segera Bentuk Badan Pangan

» Kementan dan Kemendag mesti fokus pada tugas utamanya masing-masing demi tersedianya pasokan pangan yang cukup yang dihasilkan dari petani dalam negeri.

» Pemerintah mesti memahami negara eksportir berpuluh tahun memberikan subsidi kepada petani untuk mengejar devisa.

JAKARTA – Kementerian Pertanian (Kementan) seha­rusnya membangun pertanian Indonesia sesuai dengan ke­butuhan rakyat Indonesia dari hasil produksi dalam negeri, bukan dari impor. Kewajiban ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2019 tentang Pertanian, yakni mem­bangun pertanian yang mandiri untuk menyediakan pangan na­sional bagi rakyatnya.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) ber­tugas melihat kebutuhan pangan yang dibutuhkan masyarakat. Kemudian bekerja sama dengan Kementan menyarankan komo­ditas apa yang harus ditanam agar bisa memasok seluruh ke­butuhan pangan nasional.

Hal ini merupakan amanat UU Perdagangan bahwa Ke­mendag ditugaskan memba­ngun perekonomian demokrasi, membangun kekuatan nasional dari produksi dalam negeri, bu­kan dari impor petani asing.

Kemudian, Kemendag juga harus mampu meningkatkan ekspor dari produksi nasional untuk menghasilkan devisa, bu­kan memboroskan devisa de­ngan impor.

“Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan mes­ti fokus pada tugas utamanya masing-masing demi tersedia­nya pasokan pangan yang cu­kup yang dihasilkan dari petani dalam negeri. Jika tidak, sesuai amanat Undang-Undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Presiden bisa menerbitkan Per­aturan Presiden (Perpres) peng­angkatan Menteri Koordinator bidang Pangan (Menko Pangan) dalam wadah Badan Pangan,” kata pengamat ekonomi dari Universitas Atmajaya Jakarta, Suhartoko, saat dihubungi, Se­nin (4/5).

Menurut Suhartoko, apa­bila Mentan dan Mendag tidak mampu atau tidak mau me­lakukan tugas dan kewajiban sesuai amanat undang-undang maka Presiden mempunyai ke­wajiban merealisasikan pem­bentukan Badan Pangan.

“Tugas Badan Pangan ada­lah mempersiapkan target produksi nasional, sehingga diharapkan tahun 2024 sudah mampu menyediakan 70 per­sen kebutuhan pangan nasio­nal dari produksi dalam ne­geri,” ujarnya.

Suhartoko menjelaskan Menko Pangan/Kepala Badan Pangan nantinya harus membawahi Mendag, Mentan, Menteri Ke­uangan (Menkeu), Menteri Pe­kerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Menteri Agraria dan Pertanahan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehu­tanan (LHK), Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Terting­gal dan Transmigrasi (PDTT), Menteri Koperasi (Menkop), Menteri Kelautan dan Perikan­an, Menteri Riset dan Tekno­logi (Menristek), dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo).

“Semua itu terlibat. Kenapa Menkeu, karena untuk mem­persiapkan itu harus ada ang­garannya. Mendagri, karena melibatkan sampai dengan pemerintahan desa. LHK, su­paya lahan yang sudah menjadi alang-alang harus dimanfaat­kan untuk pertanian produk­tif. Menteri Desa PDTT, karena anggarannya harus digunakan untuk seluruh petani desa agar rakyat di desa bisa makan dari hasilnya sendiri dan kelebihan­nya untuk kota besar dan eks­por,” ulas Suhartoko.

Kemudian, keterlibatan Ke­menterian Kelautan dan Per­ikanan di Badan Pangan, Su­hartoko mengatakan karena kebutuhan gizi dari kelautan sangat dibutuhkan yang sela­ma ini ikan dari perairan na­sional banyak dicuri asing. Lalu, Menristek terkait dengan pembangunan pertanian mo­dern yang bisa menghasilkan produk lebih tinggi dan efisien. Mentan karena selama ini dari menteri satu ke menteri beri­kutnya tidak menghasilkan produktivitas hasil pertanian yang memadai.

Kementerian PUPR juga harus ada di bawah Badan Pa­ngan karena pembangunan irigasi dan waduk harus ter­koordinasi sesuai kebutuhan wilayah yang masih belum ada irigasi lahan kering. Sekarang ini, sekitar 50 persen pertanian belum tersentuh irigasi.

“Selain itu, Mendag juga ha­rus di bawah Badan Pangan. Sebab, kebutuhan pangan na­sional dalam negeri harus di­penuhi oleh pangan petani Indonesia sesuai amanat UU Perdagangan. Ini prioritas uta­ma dan pertama. Sedangkan Menkop terkait dengan pem­bangunan koperasi petani,” pungkas Suhartoko.

Sebagaimana amanat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah semestinya mem­bentuk Badan Pangan paling lambat November 2015 atau tiga tahun sejak UU Pangan di­sahkan. Pembentukan badan yang sudah terlambat hampir lima tahun itu dinilai bisa men­jadi jalan untuk mengurangi impor pangan, merealisasikan cita-cita kedaulatan pangan, dan meningkatkan kesejahtera­an petani.

Badan Pangan yang berada di bawah dan bertanggung ja­wab langsung kepada Presiden itu memiliki kewenangan un­tuk mengoordinasikan kegiatan produksi, pengadaan, dan dis­tribusi pangan nasional.

Janga Paksa Petani

Dihubungi terpisah, peng­amat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ahmad Ma’ruf, mengatakan pemerintah mesti menyada­ri bahwa beban pangan impor sudah sangat berat. Peme­rintah juga mesti memahami bahwa negara eksportir berpu­luh tahun memberikan subsidi kepada petani hingga 50 per­sen untuk mengejar devisa.

“Jadi, jangan memaksa pe­tani Indonesia untuk menjual rugi kalau tidak disubsidi se­cara sebanding. Mereka layak memperoleh harga pasar yang memberi keuntungan yang cukup jika pemerintah tidak mampu memberi subsidi se­banding dengan negara eks­portir,” katanya.

Menurut Ma’ruf, konsumen RI dan pemerintah tidak akan rugi bila memberi petani harga layak, bahkan sebaliknya akan diuntungkan jangka menengah dan panjang pada saat surplus pangan produksi dalam negeri sudah bisa tercapai.

“Lagi pula harga produksi petani otomatis juga turun dengan adanya kenaikan pro­duksi. Dengan demikian juga surplus pangan akan menu­runkan harga pasar secara langsung sehingga tidak perlu perlu pemerintah memberikan subsidi apalagi merekayasa de­ngan HET, yaitu harga artifisial yang bertentangan dengan un­dang-undang,” ujarnya.

Ma’ruf menambahkan, apa­bila surplus pangan produksi dalam negeri tercapai, Indo­nesia akan menghemat devisa dari pemborosan selama ini sebesar 12-15 miliar dollar AS per tahun dari impor pangan. Hal itu melemahkan dan men­jatuhkan nilai rupiah, mencip­takan inflasi dari perlemahan rupiah, membuat RI semakin miskin dengan utang luar ne­geri yang mencapai 450 miliar dollar AS, dan membuat RI ter­gantung untuk berutang.

“Impor membuat RI tidak pernah berdaulat dan sung­guh-sungguh merdeka. Karena itu, Presiden diharapkan tegas dan cepat mengangkat pejabat Menko Pangan atau Kepala Badan Pangan dan harus diisi orang yang tepat untuk bisa mekansakan tugas dan amanat presiden, UU Agraria, dan UU Perdagangan,” pungkas Ma’ruf. ers/uyo/AR-2

What do you think?

Written by Julliana Elora

Presiden Jokowi Ajak Negara Gerakan Non-Blok Tingkatkan Solidaritas Politik dalam Melawan Covid-19

Terkait Kasus Penggelapan Uang Kopanbapel, Kuasa Hukum Sambut Baik Pelimpahan Perkara ke Polresta Padang