Sekonyong-konyong garam langka di pasar. Sekonyong-konyong harganya meroket. Membuat banyak orang terkaget-kaget. Sebelumnya, sekonyong-konyong se-Indonesia heboh dengan isu beras oplosan yang diduga merugikan negara triliunan rupiah. Sekonyong-konyong juga pasokan beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, anjlok.
Sebelum-sebelumnya, ada banyak sekonyong-konyong lainnya. Dalam skala nasional atau lokal, terkadang sekonyong-konyong cabai langka, bawang langka, jagung langka, lalu diikuti melonjaknya harga. Banyaknya sekonyong-konyong itu menunjukkan kurang matangnya kemampuan manajemen pangan, khususnya mitigasi risiko di lapangan.
Terkendalinya inflasi memang bisa dianggap indikator bagusnya manajemen pangan. Namun, harus diakui, landainya inflasi tak lepas dari masih lemahnya daya beli. Lalu, apa yang mesti dilakukan? Langkah pertama bisa dimulai dengan memperbaiki data. Perdebatan soal data produksi pangan seolah tak ada habisnya.
Data yang dirilis lembaga pemerintah seperti BPS maupun Kementerian Pertanian tak jarang diragukan. Ambil contoh data produksi jagung. Berdasar data BPS yang bersumber Kementerian Pertanian, produksi jagung 2016 naik sekitar 20 persen dan triwulan I 2017 naik 8,5 persen. Namun, fakta di lapangan, 6 produsen pakan ternak yang menjadi penyerap terbesar jagung mengaku pasokan kian sulit didapat karena ada penurunan 8 persen pada 2016 dan 18 persen pada triwulan I 2017.
Dampaknya, selain sulit didapat di pasaran, harga jagung naik. Namun, karena pemerintah menganggap suplai banyak, pelaku usaha dilarang impor. Akibatnya, mereka beralih dari jagung ke gandum untuk bahan baku pakan ternak. Perbedaan data itu mengganggu industri pakan dan peternakan.
Tak sulit mencari indikasi perbedaan data lainnya versi pemerintah dengan kondisi riil di lapangan. Karena itu, perbaikan basis data sangat urgen. Ada baiknya pemerintah lebih membuka telinga mendengar suara di pasar dan lebih kritis dengan potensi adanya laporan ABS (asal bapak senang). (*)
LOGIN untuk mengomentari.