Hiruk pikuk menjelang pilkada untuk sementara mereda. Mulai Minggu (12/2) hingga hari ini (14/2) berlangsung masa tenang yang merupakan salah satu tahapan penting sebelum hari pemungutan suara pilkada pada 15 Februari.
Selama masa tenang, semua pihak yang terkait dengan pilkada, mulai calon kepala daerah, tim sukses, hingga simpatisan, diharapkan tidak mengumbar aksi bernuansa kampanye yang bisa menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat.
Dari pemantauan hari pertama masa te nang, memang tidak ditemukan aktivitas pengumpulan massa secara signifikan oleh para pihak yang terkait dengan pilkada. Semua menaati aturan main masa tenang.
Sebaliknya, di media sosial sebagian simpatisan masih saja melontarkan pernyataan dukungan kepada kandidat yang dijagokan. Sikap mereka memang wajar-wajar saja. Sebab, di alam demokrasi memang dibenarkan siapa saja mengemukakan opini, sekalipun pada masa tenang pilkada. Toh, Bawaslu selaku pengawas pelaksanaan pilkada sebatas mengeluarkan imbauan tanpa kekuatan hukum mengikat bagi siapa saja yang melontarkan opini dukungan.
Hanya, dari sisi etika, sikap simpatisan itu sebaiknya tidak dikeluarkan. Apalagi, sejak awal para kandidat jelas-jelas meneken pakta pilkada damai. Semua pihak memang patut menghormati aturan main selama masa tenang.
Menjelang hari pemungutan suara, yang tak kalah penting adalah antisipasi politik uang (money politics) kepada calon pemilih. Kita menyadari bahwa money politics adalah musuh terbesar selama ajang pemilihan. Kita juga mengakui bahwa politik uang bukan fenomena baru di Indonesia. Secara kultural, money politics merupakan bagian aktivitas politik yang terjadi di level grass roots hingga elite.
Semua tak lepas dari standar politik Orde Baru dalam membangun jaringan dukungan politik yang hingga kini belum memudar. Kita masih berjuang untuk membebaskan budaya politik dari politik uang. Seiring misi tersebut, kita sepatutnya mulai belajar menahan godaan politik uang dalam pilkada kali ini. Calon pemilih seharusnya menempatkan idealism sebagai panglima dalam menentukan pilihan politik. Bila kita mempertahankan politik uang, ongkos politiknya cukup mahal. Kita tidak ingin mempertaruhkan masa lima tahun hanya demi selembar–dua lembar uang.
Akhirnya, masa tenang saat ini menjadi ajang pembuktian apakah demokrasi di negara ini bisa bebas dari fanatisme sempit dan politik uang. Mari kita percayakan semua urusan kepada sistem kepemiluan yang ada. Berikanlah kesempatan kepada KPU, Bawaslu, kepolisian, serta para pihak terkait pemungutan suara untuk melaksanakan tugas dalam penyelenggaraan pilkada. Kalaupun ada pelanggaran, mereka sudah pasti tahu tindakan apa yang harus dilakukan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.