in

Masyarakat Musuhi Proyek

Sekali waktu saya diundang oleh Divisi PR (Public Relations/Humas) dari sebuah perusahaan pengeboran minyak yang beroperasi di Sumatera Selatan. Tempat pertemuannya di kantor perusahaan itu, di Jakarta. 

Saya diminta memberi masukan untuk pemecahan masalah mereka di lapangan. Pipa-pipa minyak mereka banyak dirusak warga dan minyaknya dicuri. Kerugian mereka sangat besar.

Saya lalu menyisir persoalannya sedikit-sedikit. Saya pelajari sejarah pipa minyak itu dengan bertanya kepada Manager PR perusahaan itu. Ternyata dulu, di zaman Orba, pipa itu dijaga tentara. Jadi, aman-aman saja. Sejak tentara tidak dibolehkan lagi menjaga, warga dengan leluasa melakukan penjarahan.

Berikutnya saya tanya latar belakang orang-orang yang bekerja di Divisi PR. Ternyata tidak seorang pun, termasuk manajer PR-nya, yang berlatar belakang pendidikan public relations/humas atau komunikasi. Manager PR-nya insinyur, lulusan universitas terkemuka di Indonesia.

Dalam hati saya bergumam, pantaslah. Pertanyaan saya setelah itu apakah Divisi PR pernah penelitian untuk mengetahui bagaimana persepsi warga terhadap perusahaan mereka? Jawabannya sudah saya duga: tidak pernah. Jawaban tidak juga terdengar ketika saya tanya apakah Divisi PR pernah membuat dokumen perencanaan komunikasi atau perencanaan PR?

Bagaimana mungkin Divisi PR itu bisa bekerja tanpa pengetahuan tentang persepsi warga dan tidak punya dokumen perencanaan PR? Sekali lagi saya bergumam dalam hati: pantaslah.

PR itu bekerja seperti dokter. Sebelum mengobati penyakit diperlukan diagnosis. Cek labor juga perlu dilakukan. Setelah itu baru dilakukan terapi. Tidak ada dokter yang melakukan terapi tanpa tahu penyakit apa yang diderita pasiennya. 

Tanpa pengetahuan yang cukup tentang public relations tentu sulit bagi seseorang atau sebuah divisi melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan prosedur standar. Seharusnya yang bekerja sebagai PR benar-benar orang yang punya ilmunya, bukan asal pandai bicara atau menulis.

Saya ingat semua itu karena beberapa hari lalu sebuah media daring (online) memberitakan demonstrasi warga Salingka Gunuang Talang, Solok, yang menolak proyek geothermal. Demo berupa pencegatan mobil rombongan PT Hitay Daya Energy (HDE) yang akan melakukan survei itu menghanguskan sebuah mobil milik perusahaan dan anggota rombongan harus dievakuasi. Dua dari anggota rombongan itu petinggi PT HDE.

Media yang memberitakan mengikutsertakan gambar dua orang marinir yang mengawal rombongan PT HDE. Gambar marinir itu yang mengingatkan saya pada kasus perusahaan pengeboran minyak di Sumatera Selatan yang pernah mengundang saya. Mungkin pola pikir PT HDE dan perusahaan pengeboran minyak itu sama. Mereka mengira masyarakat bisa ditakut-takuti seperti di zaman Orba.

Masyarakat sekarang sudah sangat mengerti hak-hak mereka, sehingga cara mengamankan proyek dengan menakut-nakuti masyarakat tidak mangkus lagi. Alih-alih akan muncul restu dan dukungan masyarakat, justru masalahnya akan semakin sulit diselesaikan. Ibarat piring, piring itu sekarang sudah berserak di lantai. Kalaupun berhasil merekat kepingan piring itu kembali hasilnya pasti tidak akan persis seperti semula.

Sayang semuanya sudah terjadi. Kalau saya tahu ada kasus seperti ini sebelum PT HDE telanjur bergerak di lapangan, saya akan menyarankan PT HDE menjalankan prosedur standar public relations dalam menghadapi resistensi masyarakat. Memang pelaksanaannya memakan biaya yang lumayan, tapi tetap jauh lebih murah daripada memperbaiki keadaan yang telah terlanjur porak-poranda. Selain biayanya jauh lebih mahal, hasilnya pun belum tentu memuaskan. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Munaslub Golkar Tergantung Praperadilan

FH Unsyiah Raih Juara I Debat Konstitusi MPR RI Tingkat Provinsi Aceh