Gua Lida Ajer atau Ngalau Lida Ayia di Nagari Tungkar, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, masuk dalam objek lelang eksekusi senilai Rp4,7 miliar yang dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Payakumbuh, melalui Kantor Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bukitinggi. Benarkah, gua ini merupakan gua bersejarah?
NAMA lengkapnya adalah Eugene Francois Thomas Dubois. Namun, dunia lebih mengenalnya sebagai Eugene Dubois. Dalam usia 26 tahun, pria berkebangsaan Belanda yang lahir 28 Januari 1858 dan wafat 16 Desember 1940 ini sudah meraih gelar dokter di Universitas Amsterdam. Dua tahun kemudian, Dubois diangkat sebagai dosen anatomi di universitas yang sama.
Akan tetapi, Dubois bukanlah akademisi yang suka duduk di atas meja. Dokter muda ini gemar meneliti fauna dan manusia purba. Harap maklum, Dubois adalah pemuja teori Charles Darwin. “{Dia yakin betul dengan teori Darwin tentang missing link dan descent of man,” kata Profesor Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Republik Indonesia kepada Padang Ekspres, tahun 2017 silam.
Ketertarikan Dubois akan teori Charles Darwin, membuatnya ingin betul datang ke nusantara. Ini diakuinya dalam tulisan berjudul Over de wenschelijkheid van een onderzoek naar diluviale fauna van Ned. Indië, in het bijzonder van Sumatra (Relevansi Penelitian Tentang Penelitian Fauna di Hindia Belanda khususnya Sumatera). Tulisan itu diterbitkan Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (Majalah Fisika untuk India Belanda) edisi 49 tahun 1888.
Selain tertarik dengan teori Charles Darwin, Dubois meyakini, nusantara sebagai wilayah tropis, merupakan tempat tinggal terakhir anthropoid prasejarah. Keyakinan ini membuat Dubois nekat mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda, untuk bergabung dengan tentara kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang kala itu sedang menduduki nusantara.
“Dubois akhirnya diterima sebagai perwira kesehatan KNIL yang datang ke Sumatera,” kata Truman Simanjuntak. Ini juga pernah diceritakan diceritakan malam Kepala Balai Penelitian Nilai Budaya Sumatera Barat Nurmatias dan sejarawan dari Universitas Andalas Padang Wannofri Samri kepada Padang Ekspres.
Nurmatias dan Wannofri menyebut, Dubois bertolak dari Hindia Belanda menuju nusantara pada akhir 1887. Kapal yang ditumpanginya bersama KNIL mendarat di Emma Haven atau Pelabuhan Telukbayur, Padang. Dari pelabuhan yang dipopulerkan Erni Djohan lewat lagunya itu Dubois terus ke Payakumbuh.
“Di Payakumbuh, Dubois bertugas di rumah sakit setempat. Di senggang waktunya, ia mendatangi gua-gua yang ada, mencari dan meneliti fosil-fosil,” kata Harry Simanjuntak. Gua yang paling lama dimasuki dinamai Dubois dalam laporannya sebagai Gua Lida Ajer.
Enam bulan berada di gua tersebut, Dubois menemukan fosil-fosil. Tapi tidak ditemukan kerangka utuh. “Dia frustasi. Dan baru bergairah kembali, setelah mendapat kabar, insinyur Belanda di Pulau Jawa, menemukan kerangka manusia. Dia akhirnya ke Jawa dan kemudian tercatat sebagai penemu Pithecanthropus erectus atau Homo erectus,” tukuk Nurmatias.
Meski tenggelam dalam lautan penelitian Homo erecetus (Manusia Jawa), tapi Dubois tetap memboyong fosil-fosil yang ditemukannya di Sumatera, terutama fosil dari Gua Lida Ajer. Siapa nyana, delapan tahun setelah Dubois wafat, persisnya pada 1948, seorang ahli paleontogi Belanda bernama Dirk Albert Hooijer meneliti kembali fosil temuan Dubois di Sumatera, terutama fosil berbentuk gigi.
Hooijer yang lahir di Medan, 30 Mei 1919, dan wafat di Bogor, 26 Nofember 1993, mengidentifikasi fosil gigi yang ditemukan Dubois di Gua Lida Ajer, mirip dengan gigi manusia modern. Tapi, Hooijer tidak berani memastikan. Sejak itu banyak dugaan muncul. Penelitian pun berlanjut.
Puncaknya, Agustus 2017 lalu, tim ilmuwan dari Australia, Indonesia, Amerika Serikat, Jerman dan Inggris, dipimpin KE Westaway atau Kira Westaway dari Macquarie University Sydney, memastikan, fosil gigi yang ditemukan Dubois di Gua Lida Ajer, memang fosil gigi manusia modern atau Homo Sapiens. Tim yang mengandalkan teknologi, meyakini gigi tersebut berusia antar 63 ribu hingga 73 ribu tahun lalu.
Sontak, jagat ilmiah pun “geger” dengan penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature tersebut. Di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat, banyak yang penasaran di mana letak Gua Lida Ajer. Sebab, tim peneliti hanya menyebut goa itu berada di selatan Kota Payakumbuh. Padang Ekspres pun menelusurinya.
Ternyata Gua Lida Ajer yang dimaksud adalah Ngalau Lida Aia yang berada di kawasan perbukitan Kojai, Nagari Tungkar. Sejumlah penduduk Nagari setempat, seperti Gito Roles, warga Jorong Sialang, dan Alwadrim, mantan Kepala Jorong Dalam Nagari, pernah menemani para peneliti asing ke Gua Lida Ajer.
“Saya ingat. Ada tiga turis datang ke sini. Dua orang bule dan satu penerjemah. Waktu itu, mereka minta diantar ke Ngalau Lidah Aia. Sampai di sana, mereka langsung mengambil gambar, mengukur tinggi dan luas gua. Mereka juga sempat masuk ke lorong gua. Saat badan tak bisa lagi lewat, mereka tiduran,” kata Gito Roles.
Sayang, Gito tidak tahu siapa nama warga negara asing yang ditemaninya ke Gua Lida Ajer. Dugaaan Padang Ekspres, salah satu pria yang ditemani Gito adalah Dr Gilbert Priece dari Sekolah Ilmu Bumi dan Lingkungan, Universitas Queensland, Brisbane, Australia.
Dugaan ini makin menguat, manakala di laman leakeyfoundation.org terpampang foto Gilbert bersama Gito yang sedang duduk di pintu Gua Lida Ajer. “Iya, ini orangnya. Itu sekitar 2015 lalu. Tapi saya tidak ingat bulan dan harinya,” kata Gito Roles sambil tersenyum.
Di laman leakeyfoundation.org itu pula, Dr Gilbert menceritakan kesulitan timnya menemukan Gua Lida Ajer. Sebab, ada beberapa gua yang bernama Lida Ajer (secara harfiah berarti Lida Air). Tak hanya Dr Gilbert, pemimpin tim penelitian ini, yakni Kira Westaway, sebagaimana dikutip dari sejumlah media luar negeri, juga menceritakan betapa sulit menjari Gua Lida Ajer.
Bahkan, tim peneliti yang totalnya berjumlah 23 orang dari berbagai universitas di dunia, sempat meminta catatan perjalanan Dubois, berikut peta yang tersimpan di Belanda. Menurut Kira, penelitian ini sudah dimulai sejak 2008.
Pengakuan Kira ini agaknya bukan isapan jempol belaka. Jauh sebelum Gito Roles menemani Dr Gilbert dan kawan-kawan, warga Nagari Tungkar mencatat, dua kali rombongan peneliti datang ke kampung mereka. “Saya ikut menemani ke Gua Lida Ajer. Kami sempat makan durian bersama,” kata Alwadrim.
Menurut Alwadrim, Gua Lida Ajer lebih dikenal penduduk Nagari Tungkar sebagai Ngalau Lidah Aia. “Dulunya, goa ini merupakan tanah milik Datuak Munap dari Suku Melayu yang kemudian dijual kepada PT Marmers Sumbar Nur Agung. Saya pernah bekerja di pabrik marmer ini,” ujarnya.
Berdasarkan catatan pemerintah nagari Tungkar, PT Marmers Sumbar Nur Agung, dulunya mengola lahan seluas 16 hektare. Mulai beraktivitas pada 1981, perusahaan ini hanya bertahan sampai 2001. Setelah itu, operasional berakhir. Bekas pabrik, belakangan menjadi tempat penggalian batu bagi penduduk.
“Dulu, pihak perusahaan, pernah membuat jalan dari Sialang ke Tungkar, melewati Gua Lida Ajer, tapi tak jadi tembus, karena pemilik lahan di ujung lahan Datuk Munap atau dekat Gua, tidak mengizinkan,” kata Alwadrim. (***)