Bertahan di Tengah Modernisasi
Menjamurnya penanak nasi modern saat ini, tidak menggoyahkan semangat perajin dandang untuk terus bertahan. Karena, para perajin ini umumnya sudah terbiasa menggantungkan hidup dari dandang. Bagaimana kondisi mereka saat ini.
Aldo Orlando Putra, salah seorang perajin dandang yang masih bertahan di tengah menjamurnya penanak nasi modern saat ini. Dengan menempati lokasi di perbatasan antara Pasar Inpres I dan II, Padang, warga Belimbing ini tetap setia menjalani aktivitasnya seperti biasa.
Usaha pria yang akrab disapa Aldo ini, memang meneruskan usaha orangtuanya. Keterampilannya membuat dandang diturunkan ayahnya, saat dia menamatkan pendidikannya di SMA. Kesehatan ayahnya yang mulai memburuk, menyisakan raut sedih di wajahnya.
“Ini usaha ayah saya sebelumnya. Saya meneruskannya karena kondisi ayah saya yang sedikit mulai memburuk,” ungkap pria berusia 21 tahun itu kepada Padang Ekspres, belum lama ini.
Masih membekas diingatannya, sebelum marak penanak nasi modern (rice cooker, red), ayahnya selalu kebanjiran pesanan pembuatan dandang. Apalagi saat ramainya acara pesta pernikahan, orang akan lebih mempercayakan dandang buatan ayahnya, yang biasanya digunakan untuk penanak nasi dan juga nasi kuning dalam jumlah banyak. “Kata para para pemesan, ini karena dandangnya kuat, bagus dan tidak mudah bocor,” kenangnya.
Bahkan saat ramai pemesanan dandang, omzet per bulannya bisa sekitar Rp 5 juta bahkan lebih. Namun di saat ini, semakin majunya teknologi, pemesanan dandang mulai berkurang. Karena sebagian dari pelanggannya mulai beralih ke rice cooker.
Dengan kondisi itu, penghasilannya setiap bulannya menurun drastis. Bahkan mencapai Rp 1,5 juta karena sepinya pemesan. Ditambah lagi saat kedainya berpindah lokasi, dari Jalan Imam Bonjol, karena adanya pembangunan jalan umum oleh Pemko Padang ke pasar Raya Padang. “Sejak saya pindah lagi, banyak yang tidak mengetahui alamat kedai sekarang. Karena itu, sebagian mereka ada yang lari,” akunya.
Saat ini, dia sudah menekuni profesi tersebut sejak tiga tahun lalu dan sepeninggalan sang ayah. Namun dia tetap bersyukur bisa melanjutkan perjuangan ayahnya. Terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
“Masih tergiang-ngiang di pikiran saya, saat almarhum ayah saya mengajarkan membuat dandang dengan kesabaran dan penuh kehati-hatian. Sempat merasa bosan dan jengkel saat melakukan kesalahan, sampai jarin terluka karena tajamnya sayatan aluminium dandang yang belum terbentuk,” kenangnya.
Kini ia merasa sangat beruntung. Karena keterampilan membuat dandang yang diajarkan ayahnya bisa berguna, dan membuatnya menjadi pembuat dandang yang dipercaya oleh beberapa toko pecah belah yang ada di Pasar Raya Padang.
Dalam menjalani aktivitasnya, setiap harinya Aldo bekerja dari pukul 09.00 hingga pukul 17.00. Meski di awal belajar, namun banyak rumah makan dan toko pecah belah di sekitar Pasar Raya Padang yang berminat dengan hasil karyanya. Harganya dipatok mulai Rp 100 hingga Rp 1.500.000 per dandang. Itu tergantung dari ukuran dan tebal aluminium yang digunakan.
Dalam sehari ia bisa menyelesaikan dua dandang sekaligus, dengan model dan ukuran berbeda. Karena biasanya bahan dandang yang dibuatnya ada yang dari aluminium biasa dan ada juga aluminium kualitasnya di atas itu.
Untuk satu dandang bisa menghabiskan satu setengah lembar alminium, ditambah kawat besar dan ditambah dengan kawat tebal sebagai peganganya dengan modal sekitar Rp 50 ribuan. “Untuk bahan pembuatan dandang didapat di sekitar belakang Plaza Andalas, di tempat langganannya,” ucapnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.