in

Melihat Kemampuan UMKM di Padang Pariaman

Soal upah, buat kesepakatan dengan pekerja, kebijakan Pemprov Sumbar menaikkan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP), ternyata belum dapat disambut baik unit usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), khususnya di Padangpariaman. UMP yang ditetapkan Rp 2,1 juta, dinilai terlalu besar untuk direalisasikan. Pelaku UMKM ini menyarankan, agar pemerintah tidak membebankan standar upah tersebut. Bagaimana harapan mereka?

”Kemampuan finansial UMKM masih terbilang kecil. Sehingga, pelaku tidak mungkin menggaji pekerjanya berdasar standar UMP tersebut,” ujar Muhammad Fadli, 32, salah seorang pelaku UMKM di Kecamatan Lubukalung, sembari enggan menyebutkan upah pekerjanya, Jumat (3/11).

Pria yang dekat disapa Fadli itu menjelaskan, kebanyakan mereka mengandalkan pasar lokal. Artinya, apabila perekonomian lokal lemah, unit usaha akan turut terdampak. Sehingga, tidak hanya memangkas gaji pekerja malah banyak mengurangi jumlah pekerja.

“Sekarang perekonomian lokal (khusus Sumbar, red) serba sulit, karena melemahnya perekonomian masyarakat. Hal tidak terlepas dari serba mahalnya biaya kebutuhan primer di masyarakat, seperti pembiayaan listrik dan BBM (Bahan Bakar Minyak),” katanya.

Fadli menjelaskan mahalnya biaya kebutuhan tersebut, turut merambat ke unit usaha, seperti UMKM. Sehingga, kebanyakan usaha menurutnya mengalami permasalahan dalam pembiayaan produksi atau operasional.

“Kalau dulu saya tidak terlalu memikirkan biaya listrik. Namun sekarang, sudah jadi masalah besar pembiayaan listrik ini. Sebab mesin sablon pakaian yang saya gunakan, cukup banyak membutuhkan daya listrik,” ujar Fadli.

Untuk menyiasati kondisi itu, menurut Fadli tidak mungkin dilakukan dengan peningkatan harga jual produk. Sebab kebanyakan produk UMKM tidak kebutuhan pokok bagi masyarakat. Meskipun, produk yang dihasilkan itu berupa makanan atau minuman.

“Untuk terus mempertahankan berjalannya usaha, kami juga turun sebagai pekerja. Jadi tidak ada atasan dalam usaha,” katanya.
Menurut Fadli, tingkat pengaguran sekarang ini cukup tinggi. Artinya, banyak yang berharap untuk dapatkan pekerjaan. Untuk itu, pemilik usaha baik kecil, menengah, ataupun besar, menurutnya tidak akan khawatir kehilangan pekerja.

“Mencari pekerja untuk usaha sekelas UMKM itu tidak susah. Sebab tidak butuh pekerja kreatif. Namun kami butuh pekerja gigih. Kasarnya kami butuh kuli bukan tukang. Jadi kalau tidak betah dengan gaji, pekerja itu kami persilahkan berhenti saja,” ungkapnya.

Fadli menyarankan agar pemerintah melakukan survei, evaluasi, dan kajian sebelum penetapan UMP. Sehingga, penetapan upah itu benar-benar terealisasi dan tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat. “Sudah tiga tahun menjalankan usaha, tidak pernah ada yang datang survei ke sini. Jadi tidak masalah bagi saya standar UMP tidak diterapkan, karena saya juga tidak tahu landasan kajiannya,” tandas Fadli.

Tidak mungkinnya penerapan standar UMP dalam unit UMKM, juga disampaikan Hartati, salah seorang pelaku usaha keripik di Kecamatan Enamlingkung. “Kalau gaji pekerja sekitar Rp 2,1 juta itu, usaha saya mungkin belum mampu. Sebab keuangan usaha kami kecil,” ujar Hartati kepada Padang Ekspres, di Nagari Pakandangan, Jumat (3/11) sore.

Hartati mengatakan, dalam menggaji dirinya hanya membuat kesepakatan dengan pekerja tersebut. Jadi, dia langsung menjelaskan besaran gaji sebelum mempekerjakan seseorang. “Mulanya pekerja saya ada empat orang. Namun sekarang hanya tingga dua orang. Saya menggaji per orangnya Rp 60 ribu per hari,” ujar Hartati.

Hartati mengungkan jumlah perkembangan usahanya cukup baik hingga sekarang. Namun, menaikan gaji pekerja sesuai standar UMP, baginya masih kemungkinan sangat kecil.  “Kalau usaha seperti kami mungkin masih tetap berpedoman kepada kesepakatan dengan pekerja saja. Kalau sekelas PT barulah bisa ditekankan untuk mengikuti UMP itu,” tandasnya.

Terpisah, Kepala Dinas Perdagangan, Tenaga Kerja, Koperasi, dan UKM Padangpariaman, Nurhelmi mengatakan, masalah standar upah, Pemkab Padangpariaman mengikuti ketetapan UMP. Sebab, penetapan standar upah minimum kabupaten/kota (UMK), menurutnya sangat sulit karena diperlukan kajian mendalam.

“Kalau mengikuti UMP pengawasannya dan pelaksanaannya juga lebih mudah. Lagian, besaranya UMP dan UMK tidak selisih jauh. Palingan selisihnya hanya sekitar Rp 10 ribu,” kata Nurhelmi.

Kata Nurhelmi, pihaknya masih sulit mempercayai bahwa UMKM telah menberikan upah pekerja sesuai standar yang ditentukan. Sebab, kebanyakan usaha tersebut masih bergerak di rumah secara pribadi. Pekerjanyapun hanya dua hingga lima orang. Kendati demikian, pihaknya tetap mendorong mereka agar memberikan jaminan sosial kepada pekerjanya.

“Jadi kami sudah mewajibkan setiap UMKM agar memberikan jaminan kesehatan kepada pekerjanya. Setidaknya, mereka dapat lebih memperhatikan keselamatan pekerja ke depan,” ujar Nurhelmi.

Nurhelmi juga mengatakan, bahwa masalah sanksi untuk mereka belum bisa dijalankan dengan tegas. Melihat, kebanyakan usaha itu hanya bergerak dalam modal yang lemah. Untuk itu, pihaknya lebih mengutamakan pembinaan dalam meningkatkan mutu UMKM.

“Sekarang sudah tidak ada lagi bantuan atau hibah untuk UMKM. Jadi pembinaanlah untuk memperkuat usaha tersebut. Setidaknya, pembinaan itu dapat berdampak juga untuk pekerja,” hematnya.

Kendati demikian, imbuh Nurhelmi, untuk usaha berbadan hukum, pihaknya akan bertindak tergas soal standar upah. Artinya, apabila ditemukan adanya perusahaan yang tidak memberikan hak pekerja sesuai standar UMP, sanksi sudah tentu dijalankan sesuai ketetapan hukum. “Sejauh ini belum ada pekerja yang melapor kepada kami terkait upah. Kalau ada laporan, kami tentu akan melakukan tindakan,” tegasnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Bandingkan Novel dengan Teror Paris, Polri: Kendala Teknis Bikin Kasus Buntu

MTQ Diharapkan Merekat Umat Islam