Iswadi, Pejuang Korban PLTA Kotopanjang
Hati siapa yang tak pilu melihat kampung halamannya tenggelam akibat pembangunan waduk Kotopanjang guna mendukung operasional PLTA? Iswadi, putra Nagari Tanjungpauh, Kecamatan Pangkalan Kotobaru, Limapuluh Kota, memperjuangkan nasib warganya sampai ke Pengadilan Negeri Tokyo, Jepang.
KABAR kampungnya tenggelam diketahui Iswadi sepulang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia tahun 1996 lalu. Tanah ulayat, kebun karet, dan tatanan kehidupan masyarakat tenggelam bersamaan dengan pupusnya harapan masyarakat. Warga pun terpaksa pindah ke Rimbodata.
”Orang susah mandi, buang air pun di sembarang tempat. Sampai sekarang, kalau kemarau, masyarakat kesulitan air,” jelas Iswadi ketika berbincang dengan Padang Ekspres, kemarin (11/11).
Di tempat relokasi, masyarakat Nagari Tanjungpauh hidupnya jauh lebih merana. Lahan karet siap disadap yang dijanjikan pemerintah, tak kunjung ada. Air bersih dan akses transportasi tak ada. Pendidikan anak-anak memprihatinkan. Dia merasa orang kampungnya tidak mendapat ganti rugi.
Saat itu, Orde Baru masih berkuasa. Makanya, dia belum berani melawan secara terang-terangan. Namun, dalam senyap, dia mengumpulkan data-data terkait penenggelaman kampung mereka.
Dari data yang dihimpunnya, dia mendapat informasi bahwa penenggelaman dilakukan tahun 1993. Sedikitnya, 350 kepala keluarga berasal dari 15 desa dipindahkan. Proses pemindahan dilakukan Panitia Pembangunan Dam yang di-SK-kan bupati setempat.
Masyarakat dijanjikan akan mendapat lahan 2 hektare per KK. Selama 5 tahun, menjelang masa panen, mereka dijanjikan jatah hidup. Namun, semua tidak terealisasi. Kebun karet pun ternyata hanya tanah.
Dia juga mendapati pembangunan dam telah menghilangkan tradisi dan budaya masyarakat. Ritual turun mandi tidak ada lagi akibat pembangunan dam. Tanah ulayat suku/kaum lenyap. Rumah gadang pasukuan dihancurkan. Pandam pekuburan nenek moyang terendam.
Awalnya, pemerintah menjanjikan akan memindahkan makam-makam tersebut. Sehingga, budaya menjenguk dan membersihkan kuburan jelang Ramadhan tetap terjaga. “Karena dekat dengan air, dulu kami punya banyak tradisi,” ungkap Iswadi.
Begitu reformasi bergulir, awal tahun 1998, Iswadi mulai memperjuangkan hak-hak orang kampungnya secara terang-terangan.
Dia membentuk Badan Perjuangan Rakyat Korban Dam Kotopanjang (BP RKDKP). Dengan wadah itu, dia menuntut transparansi terhadap segala hak warga yang belum direalisasikan.
Dia terus mendesak dan mempertanyakan janji pemerintah tentang lahan karet. Dia juga mendesak agar warga kampungnya mendapatkan akses jalan dan air bersih. Mendesak pemerintah membuat program untuk membantu perekonomian masyarakat.
“Dulu dijanjikan kehidupan akan lebih baik kalau pindah. Ternyata lebih parah. Masyarakat terbentur berbagai persoalan. Rumah dijanjikan semipermanen, ternyata tidak sesuai harapan,” jelasnya.
Awal Iswadi berjuang, janji yang belum terealisasi adalah masalah ganti rugi dan ladang karet. Selain melalui surat, mereka juga melakukan unjuk rasa. Ternyata, aksi warga mendapat perhatian dari berbagai LSM.
Sejak didampingi LSM, seperti Walhi, Iswadi dan kawan-kawan mulai memperjuangkan haknya dengan cara memasukkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Payakumbuh. Namun beberapa kali menggugat, usaha mereka selalu gagal.
Di sisi lain, dia terus mengusahakan agar masyarakat mendapat program-program pemberdayaan. Hasilnya, masyarakat diberi bantuan. Di antaranya, keramba apung di danau buatan tersebut.
Kemudian, ada bantuan bibit, program air bersih dan program-program lainnya. Meski janji belum terpenuhi, setidaknya itu bisa membantu memperbaiki ekonomi sebagian masyarakat Tanjungpauh.
Kalah di berbagai persidangan di Indonesia, tak membuat Iswadi dan kawan-kawan patah arang. Persoalan di Kotopanjang terus digodok dan dijadikan kajian-kajian yang tulisannya akhirnya terbaca hingga perguruan tinggi di Jepang.
Selanjutnya, banyak perguruan tinggi Jepang datang melakukan penelitian di Kotopanjang. Ada juga NGO dari Jepang datang membantu dengan mendatangkan pengacara dari Jepang untuk menggugat perusahaan Jepang itu.
Sejak itu, Iswadi terus berjuang di Jepang. Di pengadilan tingkat pertama mereka kalah. Banding hingga kasasi kalah.
“Kesimpulannya, menurut pengadilan di Jepang, itu kesalahan Pemerintah Indonesia. Saya sampai sembilan kali ke Jepang untuk menghadiri sidang. Meski hasilnya belum ada, setidaknya kita sudah berjuang dan ke depan kita akan meneruskan perjuangan kita,” tegasnya.
Untuk berangkat ke Jepang, menurut Iswadi, selain mengeluarkan uang pribadi, dia juga dibantu kawan-kawan dan NGO. Ada yang membantu tiket berangkat, tiket pulang, ada juga tiket ke Jakarta.
Dalam perjuangannya, tetap saja ada yang menentang Iswadi. Dia disebut provokator, mencari-cari salah orang dan tuduhan-tuduhan lainnya.
Uang untuk keluarga, terkadang harus terpakai untuk keperluan gerakan. Awalnya, istrinya sempat komplain. Setelah diberi pengertian, akhirnya dia mendapat dukungan penuh dari keluarganya.
Sekarang, kata dia, masalah baru terus bermunculan di Kotopanjang. Sebab, tanah penggantian hanya dua hektare per KK, di sisi lain jumlah keluarga terus tumbuh dan berkembang. Akibatnya, dalam satu rumah bisa dihuni dua atau tiga KK.
“Kalau tidak dipindahkan dulu, mereka bisa membangun di tanah ulayatnya. Sekarang, kami terpaksa bersempit-sempit. Secara tatanan budaya, sudah rusak sejak kami dipindahkan di sini. satu rumah bisa dihuni lima KK karena tidak ada tanah,” ulas pria kelahiran 1973 ini.
Masyarakat Nagari Tanjungpauh, kata dia, ibarat seperti lilin. Demi menerangi orang banyak, tatanan ekonomi, lingkungan dan budaya mereka tenggelam bersamaan dengan tenggelamnya nagari mereka. Apalagi, pajak air permukaan yang diterima Pemprov Sumbar dari keberadaan air permukaan di dam Kotopanjang, jumlahnya lumayan besar.
“Kami akan terus berjuang agar kampung kami dapat perhatian. Sehingga, kehilangan dan penderitaan yang dialami selama ini tidak berlanjut pada generasi penerus dan anak cucu kami,” pungkasnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.