Oleh Milazia Putri*
Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari “budaya” bangsa Indonesia, sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Konflik berupa bentrok fisik ini bukan hanya menjadi perilaku orang dewasa, namun juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pelajar. Bahkan, tawuran sudah menjangkiti murid SD hingga pelajar SMA. Tak jarang, perang fisik antar pelajar diberitakan oleh mass media.
Hasil observasi penulis, banyak hal yang memicu terjadinya tawuran antar pelajar. Mulai dari persaingan geng, rebutan pacar, persaingan sekolah, gengsi komunitas, kalah taruhan dan segala macam lainnya. Dalam tiap tawuran, bukan saja dilakukan dengan tangan kosong, tetapi ikut menggunakan senjata tajam.
Perilaku anarkis tersebut selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat, mereka sudah tidak merasa malu dengan tindakan tidak terpuji dan mengganggu ketenangan masyarakat tersebut. Bahkan mereka sepertinya terlihat bangga akan tindakan sok jagoan tersebut.
Dalam kamus Bahasa Indonesia tawuran dapat diartikan sebagai perkelahian yang meliputi banyak orang. Tawuran antar pelajar adalah perkelahian massal yang dilakukan oleh banyak pelajar. Pelajar adalah seorang remaja yang belajar. Menurut Ali dan Asrori dalam Mulyana remaja disebut adolescence, berasal dari bahas Latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. istilah adolescence sesunguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosioanl, sosial, dan fisik.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency).
Berikut beberapa faktor yang menyebabkan tawuran antar pelajar yang dianalisa dengan teori psikologi.
Menurut Jean Piaget Masa remaja masuk pada tahap perkembangan kognitif formal operasional. Yang mana pada masa ini, mereka mencoba menyusun hipotesa dan menguji berbagai alternatif pemecahan permasalahan hidup sehrai-hari. mulai menyadari permasalahan yang di sekelilingnya. Salah satunya, bagaimana membuktikan solidaritas atau kesetiakawanan. logisnya mengatakan supaya ia mengikuti segala aturan kelompok, walaupun aturan kelompok itu negatif, misalnya tawuran. Ini adalah salah satu bentuk uji coba pemecahan masalah mereka.
Menurut teori perkembangan kepribadian Erikson, remaja masuk pada tahap Identitas vs kekacauan identitas. Di dalam tahap ini ruang lingkup lingkungannya semakin luas, tidak hanya di lingkungan keluarga atau sekolah, namun juga di masyarakat. Pencarian jati diri mulai berlangsung dalam tahap ini. Pertanyaan who am I semakin menguat.
Apabila seorang remaja dalam mencari jati dirinya bergaul dengan lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula. Namun sebaliknya, jika remaja bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja tersebut. Selanjutnya, Richard Logan, mengutarakan bahwa pada masa ini, akan ada suatu mekanisme pertahanan untuk mengurangi kecemasan yang timbul akibat kekacauan identitas, yaitu munculnya identitas negatif. Identitas negatif ini akan menjadi pelarian dan pengganti atas kecemasan akan kekacauan identitas yang dialaminya. Salah satu bentuk identitas negatif adalah tawuran.
Tawuran juga disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. faktor internalnya yaitu Remaja yang melakukan perkelahian biasanya tidak mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan yang kompleks. Maksudnya, ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai keberagaman lainnya yang semakin lama semakin bermacam-macam. Para remaja yang mengalami hal ini akan lebih tergesa-gesa dalam memecahkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih dahulu apakah akibat yang akan ditimbulkan. Selain itu, ketidakstabilan emosi para remaja juga memiliki andil dalam terjadinya perkelahian. Mereka biasanya mudah frustasi, tidak mudah mengendalikan diri, tidak peka terhadap orang-orang di sekitarnya. Seorang remaja biasanya membutuhkan pengakuan kehadiran dirinya ditengah-tengah orang-orang sekelilingnya.
Sedangkan faktor eksternalnya yaitu karena faktor keluarga, faktor sekolah ,
faktor lingkungan.
Selain faktor penyebabnya, dampak nya pun cukup banyak dan sangat merugikan bagi pelajar dan masyarakat. Contohnya saja seperti cedera fisik, rusaknya rumah warga setempat, terganggunya proses belajar, menurunnya moralitas pelajar, dan hilangnya rasa peka toleransi dan saling membantu.
Dalam konteks meredam dan mengurangi kebiasaan tawuran, penulis sepakat dengan teori yang diajukan oleh Kartono, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi tawuran:
Banyak mawas diri, melihat kelemahan dan kekurangan sendiri dan melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dan tidak menuntun. Kemudian
Memberikan kesempatan kepada remaja untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat. Memberikan bentuk kegiatan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan remaja zaman sekarang serta kaitannya dengan perkembangan bakat dan potensi remaja. []
*Penulis adalah mahasiswa psikologi, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Foto dikutip dari internet. Tidak diketahui sumber pertama.