Setelah mendapat rapor kepercayaan publik yang tertinggi dari lembaga survei AS Gallup World Poll (GWP) dan ditegaskan lagi oleh Organizational for Economic Cooperation and Development (OECD), Indonesia kembali mendapat pujian dari Bank Dunia (World Bank). Kali ini President Group World Bank Jim Yong Kim memuji realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata di atas 5 persen.
Selain itu, dia menyatakan bahwa Indonesia salah satu tempat berinvestasi terbaik di dunia. Pujian itu ditimpali Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang membeberkan bahwa Indonesia meraih peringkat pertama untuk trust and confidence in national government (kepercayaan publik terhadap pemerintah) versi GWP dan dirilis OECD dalam publikasi bertajuk Government at a Glance 2017 belum lama ini.
Pada 2016, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah meningkat 28 persen menjadi sekitar 80 persen dari sebesar 52 persen pada 2007. Angka tersebut jauh melampaui negara-negara maju yang tergabung dalam OECD. Di antaranya, AS sekitar 30 persen, Inggris 31 persen, dan Jerman 55 persen, yang mendekati Indonesia adalah India tercatat sekitar 73 persen.
Bagaimana relevansinya atas pujian Bank Dunia dan tingginya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagaimana dipublikasikan OECD terhadap arus investasi di Indonesia?
Nasib Investasi Langsung
Salah satu di antaranya, “makna” kehadiran pujian demi pujian eksternal tersebut tentu saja bisa menjadi modal besar bagi keberlangsungan pemerintahan Jokowi untuk meningkatkan kualitas pemerintahan, pembangunan, dan layanan publik. Salah satu di antaranya, yang mendesak di-drive secara agresif adalah laju investasi langsung.
Mengapa? Sebab, sebagaimana diketahui, arus investasi yang membanjiri pasar Indonesia ternyata belum beranjak pada jenis investasi yang mampu menggerakkan potensi ekonomi rakyat melalui investasi langsung. Catatan Kementerian Pertanian (2017) menyebutkan, investasi bidang pertanian tergolong paling “lemot” di Indonesia. Padahal, data BPS (2016) menyebutkan, terdapat 4,732 jenis potensi pertanian (perkebunan, perikanan, peternakan, dan hortikultura, red) yang bahan bakunya tersebar merata di daerah-daerah di Indonesia, baru 0,003 persen saja yang dapat ditingkatkan kelasnya ke dalam bentuk investasi langsung berupa pembangunan manufaktur dan industri berbasis pertanian.
Akibatnya, fatal! Tidak hanya Indonesia kian bergantung kepada produk pangan impor yang kini harus mengeluarkan anggaran negara per tahun mencapai 23 triliun lebih, tetapi juga mandeknya teknologi investasi di sektor pertanian tersebut.
Padahal, investasi langsung di sektor ini tidak hanya terbukti menguasai hajat hidup rakyat banyak, tetapi juga merupakan bentuk investasi “tanpa kenal ruang dan waktu” (continous direct investment), sebagaimana prediksi pakar investasi Jepang Toru Hinagara dalam Global Investment (2010) yang menyebutkan bahwa negara yang mampu membangunkembangkan jenis investasi langsung di sektor pertanian adalah negara yang akan menjadi pemenang peradaban dunia.
Sayangnya, investasi yang justru banyak digadang pemerintah bukan lah investasi langsung berbasis sektor stretategis yang bahan baku dikuasai rakyatnya. Hal itu terlihat dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menyebutkan bahwa akumulasi realisasi investasi sepanjang semester I/2017 mencapai Rp336,7 triliun terdiri atas penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp 206,9 triliun dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebanyak Rp 129,8 triliun.
Ironisnya, 90 persen adalah investasi tidak langsung (indirect investment) yang terbukti hanya padat modal dan teknologi, tetapi juga miskin tenaga kerja. Sebab, biasanya hanya tenaga kerja profesional yang dapat memperoleh keuntungan, sedangkan tenaga kerja ala Indonesia yang minim kompetensi biasanya tersingkir secara alamiah.
Memang, jika dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 298,1 triliun, realisasi investasi sepanjang enam bulan ini telah terjadi kenaikan sekitar 12,9 persen. Dilihat dari per kuartal tercatat realisasi investasi pada kuartal pertama (Januari–Maret) sebesar Rp 165,8 triliun dan kuartal kedua (April–Juni) sekitar Rp 170,9 triliun.
Melihat angka realisasi investasi setengah tahunan dan predikat layak investasi (investment grade) di Indonesia yang disematkan sejumlah lembaga pemeringkat internasional, pihak BKPM semakin percaya diri untuk mencapai target realisasi investasi yang dipatok Rp 678,8 triliun tahun ini. Sebelumnya, Standard & Poor’s dan Moody’s, serta Fitch Ratings memberikan predikat Indonesia layak Investasi. Meminjam istilah Kepala BKPM Thomas Lembong bahwa predikat layak investasi tersebut merupakan tambahan kekuatan bagi Indonesia untuk menarik investor menanamkan modal.
Namun, selama ini, di tengah animo calon investor langsung yang setiap tahun naik rata-rata 35 persen, diakui BKPM bahwa ketika pemerintah pusat kian yaring menabuh genderang untuk mengundang calon investor padat karya, biasanya justru “digagalkan” sendiri oleh pemerintah daerah, calon lokasi manufaktur tersebut hendak didirikan.
Tercatat, dari 372 calon investor langsung yang sudah siap direalisasikan di tingkat pusat, justru sering mentok di daerah. Pemicunya, banyak kepala daerah yang gemar menjadikan calon investor sebagai ATM sehingga banyak investor balik kanan sebelum beroperasi. Itulah tantangan pemerintah untuk menggugah kesadaran baru di daerah jika hendak merealisasikan target investasi.
Siapa sajakah negara yang rajin menanamkan modal di Indonesia? Data terbaru dari BKPM untuk kuartal II/2017 adalah Singapura sebesar USD 1,6 miliar (19,5 persen) dengan 3.045 proyek, disusul Jepang sekitar USD 1,4 miliar (17,5 persen dengan 1.840 proyek, dan Tiongkok senilai USD 1,3 miliar dengan total 763 proyek. Negara yang lain, Korea Selatan USD 478 juta dengan 1.582 proyek, AS sekitar USD 381 juta dengan 348 proyek, dan Malaysia senilai USD 343 juta dengan 785 proyek. Sementara itu, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada semester I/2017 di kisaran 5 peresn.
Dari angka realisasi investasi tersebut, khususnya pada kuartal kedua 2017 yang mencapai Rp 170,9 triliun, seberapa besar tenaga kerja yang berhasil diserap? Masih berdasar publikasi BKPM bahwa tenaga kerja yang terserap pada kuartal kedua mencapai 345.243 orang, lebih tinggi jika dibandingkan dengan pada kuartal pertama yang tercatat 194.134 orang. Perinciannya, PMA menyerap tenaga kerja 241.068 orang dan PMDN menyerap 104.255 orang.
Kita berharap, pujian Bank Dunia tidak membuat pemerintah berbesar kepala, apalagi lengah. Tetapi, itu hendaknya menjadi pendorong untuk meningkatkan realisasi investasi langsung ke depan sehingga semakin banyak tenaga kerja yang terserap sekaligus mampu menjadi pelecut bagi pemerintah dan semua komponen terkait bersatu padu untuk menggerakkembangkan potensi investasi langsung yang masih “garing” selama ini. Jadikanlah “pujian” pihak eksternal sebagai obor baru mengakselerasi investasi langsung kini dan nanti! (*)
LOGIN untuk mengomentari.