in

Membakar APBN

Oleh: Two Efly, Wartawan Ekonomi

Kita ini negeri yang “hongas”. Kaya tidak tapi royal pula. APBN “tekak” tapi setiap menit, setiap jam dan setiap hari kita bergotong royong “membakar APBN”. Tak percaya silakan lihat di lapangan. Barapa banyak anak bangsa ini berame-rame membakar APBN nya “menegak” Bio Solar dan Pertalite.

Pasca berlangsungnya perang antara Rusia dengan Ukraina krisis energy mulai melanda dunia. Sejumlah Negara net importir BBM mulai kelimpungan. Tak berpilih mau Negara kaya, Adi daya maupun negera berkembang ataupun negeri miskin sekalipun. Semua tabik “neneang” dibuatnya.

Indonesia termasuk satu di antara Negara yang sudah sangat terimbas. Status sebagai Negara “malu malu kucing” net importir BBM membuat negeri ini juga kelimpuangan seiring merangkak naiknya harga minyak dunia. Pekan kedua Juli 2022 re rata harga minyak dunia bertengger 106,66 US per barel. Sementara dalam asumsi APBN harga minyak dunia di proyeksikan US 63 per barel. Dari titik ini saja sudah terjadi deviasi yang cukup dalam mencapai 42,66 US per Barel.

Benarkah kita membakar APBN? Mari kita bicara data. Hingga pertengahan Juli 2022 tercatat sejumlah harga BBM non Subsidi bertengger jauh di atas harga bersubsidi. Harga Bio Solar non Subsidi berada di angka Rp22.900 per liter. Begitu juga dengan Pertalite yang ditawarkan dengan harga Rp18.800 perliter. Dexlite di harga Rp23.100, Pertamax di harga Rp19.800 dan minyak tanah di harga Rp18.500 Per liter.

Silakan perbandingkan angka angka itu dengan harga peroleh BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Di kelompok BBM penugasan (Bio Solar-red) dapat diperbandingkan Rp22.900 (Non Subsidi): Rp5.500 (Subsidi). Ada deviasi yang tajam di kisaran Rp17.400.

Anggaplah Pertamina selaku distribusi dan badan usaha ambil margin lk 20 persen dari kelompok non subsidi itu. Artinya, masih ada deviasi lebih kurang 12.800 per liternya. Bayangkan saja berapa kebutuhan bahan bakar minyak Bio Solar ini dikonsumsi masyarakat per hari, per minggu dan per bulannya.

Begitu juga dengan Pertalite. Jenis BBM transisi yang serba menanggung ini juga ikut menggerogoti APBN. BBM dengan kadar RON 90 “serba tanggung” ini juga memiliki deviasi yang cukup dalam antara harga subsidi dengan harga di SPBU.

Periode pertama Juli 2022 tercatat harga Pertalite dibanderol dengan harga Rp18.800 per liter. Harga ini juga jomplang jauh dibandingkan harga perolehan di SPBU yang di jual dengan kisaran Rp7.200 per liter.

Jika dua cluster ini dikomparasikan maka Rp18.500 (non subsidi): Rp7.200 (bersubsidi) terdapat deviasi Rp11.600 per liternya. Anggaplah Pertamina selaku distribusi dan badan usaha mengambil margin 20 persen dari Pertalite untuk cluster non subsidi ini maka tetap juga terjadi deviasi lebih kurang Rp7.840 per liter.

Jika setiap bulannya kebutuhan BBM jenis Bio Solar re rata 1,9 Juta KL maka itu setara dengan Rp 33 Triliun. Begitu juga dengan Pertalite dengan re rata kebutuhan per bulan 1,8 Juta kilo liter per bulan maka itu setara dengan Rp20 Triliun. Dari dua jenis bahan bakar minyak ini saja Negara sudah musti mensubsidi lebih kurang Rp50 Triliun per bulannya. Bukankah pola subsidi harga alias subsidi sama rata ini sama artinya kita membakar APBN?

Betul harga BBM merupakan salah satu katalisator ekonomi dan trigger pertumbuhan ekonomi. Multiplier efeknya sangatlah besar. Bila subsidi dicabut atau dihentikan pastilah ekonomi bangsa ini akan stagnan dan bisa saja turbulensi. Pertanyaan kita sanggupkah negeri ini bertahan sementara kita setiap hari membakar APBN? Tidak adakah jalan lain untuk menunaikan kewajiban memproteksi masyarakat dan ekonomi negeri ini?

Subsidi Harga vs Subsidi Pengguna

Muaranya sama tapi cara dan bentuk pelaksanaannya berbeda. Negara sama sama hadir dan memberikan perlindungan harga kepada masyarakatnya.

Saat ini, negeri ini masih memberlakukan subsidi harga. Penulis mengistilahkan pola subsisi ini adalah subsidi buta alias sama rata. Tak ada perbedaan antara si kaya dengan orang yang belum kaya. Asal dia berada di NKRI  semuanya bisa menikmati subsidi harga ini.

Secara prinsip subsidi itu adalah cara dan bentuk melindungi. Negara berkorban untuk melindungi masyarakatnya dari lonjakan harga yang tak wajar. Harapannya sederhana, ekonomi masyarakat tidak terdampak dan kian susah. Akumulasi gerakan ekonomi masyarakat inilah yang diharapkan mampu menopang roda ekonomi nasional.

Subsidi harga yang berlangsung saat ini sangatlah sulit untuk melindungi masyarakat apalagi tepat sasaran. Pasalnya dalam aplikasinya di lapangan cukup sulit untuk memilah dan memilih siapa yang patut dan siapa yang patut. Kalaupun ada gerakan dan upaya untuk melakukan pengendalian yakinlah di lapangan pastilah akan kesulitan. Untuk anjuran beralih menggunakan aplikasi mypertamina saja sudah menimbulkan gejolak, apalagi sampai mengurangi pasokan.

Beda lagi dengan subsidi pengguna. Subsidi ditujukan langsung kepada pengguna BBM itu sendiri. Apakah itu sepeda motor, mobil passenger, bus, truck, dump truck atau trailer sekalipun terdata di negeri ini. Ada dokumen kepemilikan kendaraan yang dapat menjadi kata kunci untuk pengendalian. Setiap kendaraan pastilah memiliki nomor Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Setiap tahunnya para pemilik kendaraan ini menunaikan kewajibannya membayar pajak kendaraan kepada Negara. Besarannya pun beragam. Semuanya mengacu kepada kapasitas mesin dan ukuran badan. Makin besar daya mesin dan badanya maka makin besar pula pajaknya. Begitu juga dengan kebutuhan bahan bakarnya.

Unit/armada inilah yang musti disubsidi. Sepanjang mereka melakukan kewajibannya kepada Negara maka mereka berhak untuk mendapatkan subsidi. Caranya bisa saja pajaknya diturunkan hingga 50 persen. Negara bisa mengalihkan bentuk subsidi harga BBM itu kepada subsidi pajak. Pajak kendaraan dikurangi sementara harga perolehan BBM di SPBU juga disesuaikan harga pasar.

Subsidi Tunai Vs Subsidi Pajak

Orang bijak berkata. “Tak satu jalan ke Roma”. Masih banyak cara dan langkah yang dapat ditempuh untuk melindungi masyarakat dari lonjakan harga.

Dalam tulisan ini penulis ingin menyampaikan dua bentuk skema baru perubahan Subsidi BBM ini. Pertama subsidi tunai. Langkah ini dapat dilakukan dengan memberikan subsidi minimum kepada pemilik/pengguna kendaraan dalam bentuk bantuan langsung tunai. Caranya dengan memberikan subsidi minimum kebutuhan BBM per hari dan diakumulasikan pembayaran bisa saja per tiga bulan atau per enam bulan atau per tahun.

Kedua subsidi pajak. Cara kedua ini lebih rasional. Tidak ada cash out flow bagi likuiditas Negara. Pemerintah hanya perlu crossing pendapatan. Bisa saja pendapatan pajak akan mengalami pengurangan karena ada subsidi yang diberikan kepada objek pajak namun di sisi lain pemerintah akan menghasilkan pendapatan dari pengurangan subsidi BBM dan tambahan pendapatan dari penjualan BBM.

Dua opsi ini bisa menjadi pertimbangan untuk melepaskan APBN dari jeratan subsidi yang kian hari kian membengkak. Perubahan skema ini juga diyakini dapat “menyehatkan” APBN. Kita sebagai anak bangsa tak perlu lagi bergotong royong “membakar” APBN itu setiap saat.

APBN Sehat BUMN Selamat

Setiap kebijakan pastilah menghasilkan konsekuensi. Ada sisi positif dan dipastikan juga ada bilik negatifnya.

Begitu juga dengan perubahan skema subsidi harga BBM. Kebijakan ini diyakini akan mematik reaksi public. Pertanyaannya beranikah pengambil kebijakan di negeri ini?

Dalam bingkai kaca mata politik ini memang sangat tak popular. Perubahan harga BBM dipastikan akan menimbulkan gejolak politik. Bisa saja pengambil kebijakan dinegeri ini dianggap tak peduli masyarakat. Tak tertutup pula kemungkinan upaya mengubah skema subsidi ini akan menjadi tumpangan politik.

Bak obat yang menyembuhkan sakit perubahan skema subsidi ini sangat perlu dilakukan. Negeri ini membutuhkan penyelamatan. APBN yang “tekak” tak mungkin saban hari kita bakar lagi bersama-sama. Masih banyak kebutuhan mendesak lain yang membutuhkan anggaran Negara untuk ditunaikan.

Sudah tiba saatnya pemerintah dinegeri berani menelan “pit pahit” itu. Inilah momentumnya bagi negeri ini untuk meninggalkan warisan APBN yang sehat bagi generasi yang akan datang. Double Winner yang bisa diraih dari perubahan skema ini. Pertama APBN sehat dan Pertamina selaku distribusi dan badan usaha Negara menjadi sehat. Baik secara bisnis maupun secara cash flow.(***)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Kejati Sumbar Bagikan Puluhan Paket Sembako, Semarak HBA ke-62 Tahun 2022

Kejari Pati Menerima Tahap 2 Perkara BBM Subsidi