Membangun budaya literasi bukanlah perkara instan. Dibutuhkan proses yang panjang, dan usaha yang berkelanjutan. Proses ini, tentu saja hendaknya dimulai dari lingkungan terdekat dengan siswa yaitu keluarga dan sekolah, karena kedua lingkungan ini merupakan lingkungan yang paling lama berinteraksi dengan siswa.
Pendekatan sastra dipandang dapat meningkatkan motivasi siswa dalam berliterasi. Hal ini terkait dengan fungsi dulce et utile pada sastra yakni fungsi yang memberikan efek menghibur sekaligus mendidik bagi pembaca.
Sebelum lebih lanjut membahas mengenai budaya literasi, ada baiknya kita menyamakan persepsi mengenai makna literasi. Jika ditelusuri, kata literasi dapat dimaknai dengan melek aksara, kemampuan membaca dan menulis.
Dengan demikian, budaya literasi dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan berpikir dengan menggunakan alam pikiran yang diawali oleh proses membaca, kemudian diikuti oleh proses menulis, yang mana muara dari rangkaian proses tersebut adalah untuk menghasilkan sebuah karya.
Kemajuan zaman yang diikuti oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (internet) sebenarnya memberikan kemudahan bagi kita untuk membangun budaya literasi. Hal ini disebabkan karena kemajuan teknologi menjadikan media literasi semakin bervariasi dan berkembang. Buku, majalah dan media cetak sekarang tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya media untuk membangun kebiasaan membaca.
Ketersedian teknologi internet mampu memberikan alternatif pilihan yang menarik untuk membangkitkan animo membaca, karena media ini menawarkan berbagai bahan bacaan yang dibutuhkan oleh pengguna dari berbagai segmen, mulai dari segmen anak-anak, remaja hingga segmen dewasa.
Tentu, kegiatan membaca akan menjadi lebih menarik. Di balik ketersedian berbagai teknologi pendukung terbangkitnya budaya literasi tersebut, ada suatu fenomena yang cukup merisaukan bagi kita semua.
Apa yang diharapkan di balik kemajuan teknologi tersebut, yaitunya keterbangkitan budaya membaca malah tidak memberikan dampak yang signifikan dalam membangun budaya literasi terutama budaya literasi siswa. Bisa dibilang budaya literasi siswa di Indonesia masih rendah.
Rendahnya budaya literasi siswa di Indonesia memang cukup mengkhawatirkan. Dalam survey yang dirilis PIRLS atau studi internasional tentang literasi membaca siswa, diperoleh data bahwa literasi membaca siswa Indonesia menduduki peringkat ke-41 dari 45 negara yang menjadi peserta.
Skor Indonesia hanya berada di atas empat negara lainnya yang ikut dalam studi tersebut, yaitu Qatar (skor = 353), Kuwait (330), Maroko (323) dan Afrika Selatan (302). Budaya literasi di setiap jenjang pendidikan formal memang belum terbangun dengan baik. Banyak siswa yang enggan untuk membangun kebiasaan membaca.
Berbagai alasan pun dikemukakan. Mulai dari membangun kebiasaan membaca yang membutuhkan waktu lama, kebiasaan malas, serta kecanduaan perangkat teknologi informasi (gawai). Ditambah lagi dengan kurangnya keteladanan dari guru untuk membangun kebiasaan membaca.
Padahal budaya membaca merupakan kebiasaan baik yang harus ditanamkan dan dibangunkan siswa sejak dini. Membangun kebiasaan membaca tentu membutuhkan waktu yang lama, proses yang panjang, dan usaha yang berkelanjutan.
Proses ini hendaknya dimulai dari lingkungan terdekat dengan siswa yaitu keluarga dan sekolah. Kedua lingkungan tersebut merupakan lingkungan yang paling lama berhadapan langsung dengan siswa dalam kurun waktu cukup lama.
Membangun kebiasaan literasi tidak dapat dilakukan dengan metode otoriter dan keterpaksaan. Kesadaran membaca tentu tidak akan tumbuh dengan metode ini. Dibutuhkan pendekatan psikologis, dengan cara yang menarik agar budaya literasi terbentuk, terutama pada siswa yang masih berada di tingkat pendidikan dasar.
Salah satu cara yang menarik menurut hemat penulis dapat dilakukan pada berbagai jenjang pendidikan adalah melalui pendekatan kesastraan. Pendekatan kesastraan dipandang mampu membangun budaya literasi tahap awal.
Artinya, melalui kegiatan bersastra, budaya literasi dapat dipupuk dan dibina oleh siswa yang budaya literasinya masih rendah. Hal ini bisa terwujud karena sastra merupakan bacaan ringan yang tidak membutuhkan konsentrasi tinggi dan sangat renyah dibaca dalam situasi santai.
Ini sesuai dengan salah satu fungsi sastra yaitu sebagai sarana mendidik yang menghibur. Membangun budaya literasi melalui pendekatan bersastra di lingkungan sekolah, semestinya dimulai dari lingkungan kelas. Ada beberapa poin yang dapat dilakukan.
Kesatu, Menanamkan kecintaan bersastra bagi semua civitas sekolah. Menanamkan kecintaan bersastra akan memengaruhi psikologis siswa secara perlahan. Dengan cara ini diharapkan kecintaan siswa terhadap sastra tumbuh dan berkembang.
Kedua, mengubah metode dan teknik mengajar guru melalui pendekatan sastra. Sebagai contoh yang dapat dilakukan adalah memberikan pemahaman bersastra melalui bacaan-bacaan sastra kepada siswa, sesaat sebelum dan sesudah kegiatan pelajaran dilakukan.
Adapun bacaan disesuaikan dengan usia siswa, misalnya untuk siswa di tingkat dasar, bahan bacaan yang digunakan sebaiknya bacaan yang dilengkapi banyak gambar. Setelah itu, siswa diminta untuk mendiskusikan dengan sesama teman mengenai isi bacaan tersebut.
Ketiga, siswa ditugasi untuk membaca nyaring secara bersama, kemudian berbagi informasi. Agar kegiatan menjadi lebih menarik, dapat divariasikan dengan berbagai teknik, seperti, membaca bergiliran, mengadakan acara jam bercerita, membaca kumpulan puisi atau cerpen, mengadakan diskusi buku, camping literasi, dan lain sebagainya.
Beberapa poin di atas hanya sedikit contoh yang dapat dilakukan guru untuk menanamkan kecintaan membaca kepada para siswa. Sastra memang bukanlah bacaan yang mampu menambah kognisi siswa secara mendalam, tetapi melalui sastra, pengalaman batin siswa memaknai kehidupan akan semakin terasah tajam.(***)