Kondisi umat Islam di Indonesia hari ini sudah berada pada tahap yang sangat mengkhawatirkan, terutama pasca Pilkada DKI Jakarta. Tanpa disadari, aktivitas politik yang diikuti umat Islam telah menempatkan mereka pada posisi saling berhadap-hadapan. Sebagian dari umat Islam ini merasa benar dengan keyakinan mereka terkait dengan pilihan politiknya. Sebagian umat yang lain juga merasa paling benar dengan pilihan politik mereka dengan berbagai justifikasi pembenar yang dikemukakan. Bahkan hingga saat ini, keadaan ini masih dapat dilihat, terutama di media sosial. Bukan tidak mungkin perbedaan pilihan politik ini ke depan akan bermuara pada ketegangan sosial yang dapat mengancam stabilitas berbangsa dan bernegara.
Sangat disayangkan, kalangan umat Islam mulai terbiasa dengan perilaku saling menghujat, menyebarkan ujaran kebencian dan memutarbalikkan fakta, sehingga menjadi fitnah hanya karena berbeda pandangan politik. Seharusnya, keyakinan dalam berpolitik tidak boleh mengalahkan keyakinan mereka dalam beragama, khususnya bagi mereka yang mengaku muslim.
Keyakinan politik jelas hanya bersifat sementara karena nilai-nilainya dibuat oleh umat manusia. Apalagi, kalau nilai-nilai ideologi politik tersebut tidak lagi sejalan dengan kepentingan pengikutnya, maka dengan sendirinya keyakinan politik atau ideologi itu akan ditinggalkan. Hal ini tentu berbeda dengan keyakinan sebagai seorang muslim yang justru menempatkan aspek akidah ini di atas segala-galanya hingga akhir dunia.
Sayangnya, banyak di antara umat Islam hari ini mencampuradukkan persoalan beragama dengan persoalan politik praktis yang sebenarnya tidak lain adalah sebuah permainan para pemburu kekuasaan. Anehnya lagi, sebagian besar nyaris saling konflik dan baku hantam di tengah panasnya terik matahari hanya karena ingin mempertahankan dukungan politiknya kepada seorang elite. Sementara elite politik yang mereka dukung tetap tenang-tenang saja dan sambil tersenyum melakukan negosiasi kekuasaan yang mereka kejar di tempat yang aman dan nyaman. Fakta ini harusnya disadari umat Islam karena dengan jumlahnya yang banyak, tidak jarang mereka justru dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Apalagi dalam konteks demokrasi prosedural seperti pilkada dan pemilu yang hanya mengandalkan dukungan suara mayoritas tersebut.
Momentum Ramadhan
Jika dilihat fenomena di atas, sesungguhnya keadaaan ini jauh-jauh hari sudah dibayangkan oleh Nabi Muhammad SAW yang bersabda “Awaslah, celakalah kalian, jangan sampai kembali kafir sepeninggalku, yaitu yang satu memenggal leher yang lain (Bukhari, Muslim).” Tentu makna “memenggal” tidak dalam arti harfiah yang dengan mudah dapat kita saksikan hari ini melalui kekerasan fisik dan peperangan. Hujatan, makian, fitnah dan saling mengkafirkan adalah bukti adanya kecenderungan umat yang “saling memenggal” leher yang lain. Walaupun begitu, bukan berarti potensi kekerasan fisik dan peperangan yang mengarah pada perbuatan itu tidak akan terjadi di republik ini. Jika pemimpin umat Islam saat ini keliru bersikap dan memberikan teladan yang baik kepada umatnya, bukan tidak mungkin makna “memenggal leher” ini benar-benar terjadi di negeri ini.
Apa yang disabdakan Rasulullah ini adalah realita yang sudah ditemukan dalam kehidupan umat Islam. Tidak sedikit umat Islam mulai kehilangan fokus dengan keimanannya tentang kehidupan akhirat yang sebenarnya lebih baik untuk dikejar ketimbang dunia dengan segala isinya. Kenyataan ini dijelaskan oleh firman Allah SWT dalam Surah Al An’aam, ayat 32: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda-gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang yang bertakwa. Maka tidaklah kamu memahaminya!”
Ironinya, peringatan dari Allah SWT ini pun masih saja tidak berbekas bagi sebagian umat Islam. Kaum muslimin bahkan tergoda untuk ikut-ikutan berebut masalah dunia, mengejar kekayaan di dunia dan bahkan mencari kedudukan terhormat di dunia dengan melupakan esensi kehidupan yang sesungguhnya. Malah sebagian dari mereka ada yang tidak takut untuk menjual agamanya demi mewujudkan kepentingan dunia tersebut.
Oleh karenanya, momentum Ramadhan ini mestinya dapat diambil hikmahnya, terutama dalam upaya menghentikan perilaku agar tidak “saling memengal leher” saudaranya sebagaimana yang ditakutkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bagaimana tidak. Ibadah di bulan Ramadhan ini sesungguhnya dapat melatih umat Islam yang beriman agar bisa menahan diri dari segala perbuatan yang berorientasi pada dimensi keduniaan. Orientasi keduniaan ini berhubungan erat dengan napsu manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya, napsu untuk memenuhi kebutuhan biologis, fisiologis hingga kebutuhan untuk dihormati dan ditakuti.
Selama Ramadhan kaum muslim diajarkan untuk mengendalikan semua keinginannya terhadap aspek keduniaan dan dibimbing untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mendekatkan diri kepada Allah SWT ini haruslah dimaknai bahwa pada akhirnya apa-apa yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari akan mendapat petunjuk dari Allah SWT, karena keberhasilannya dalam beribadah di bulan Ramadhan. Jika ini dapat dilaksanakan, maka setelah pelaksanaan ibadah Ramadhan ini tidak akan ada lagi perilaku umat yang saling memfitnah, mengeluarkan ujaran kebencian dan menyebarkan kebohongan.
Sungguh sangat disayangkan dengan jumlah umat Islam di Indonesia yang banyak ini justru disibukkan dengan urusan keduniaan yang berakhir dengan konflik sesama mereka. Semoga saja keberhasilan melaksanakan ibadah Ramadhan ini berbekas, sehingga menjadi modal yang kuat untuk membangun semangat persatuan untuk kemajuan bangsa dan negara ini ke depan. Wallahua’lam bhisshawab. (*)
LOGIN untuk mengomentari.