Lembaga pemantau korupsi ICW mencatat setidaknya ada 16 upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut ICW setengah pelakunya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Upaya itu dilakukan mulai dari mewacanakan lembaga antirasuah itu sebagai institusi ad hoc, revisi UU KPK, penolakan anggaran, sampai memaksakan penggunaan hak angket.
Awal pekan ini rapat Panitia Angket DPR membacakan surat penolakan KPK untuk menghadirkan Miryam S Haryani, tersangka sumpah palsu di persidangan kasus dugaan mega korupsi pengadaan KTP elektronik. KPK menilai permintaan DPR itu sebagai tindakan merintangi dan menghalangi proses hukum. Lembaga itu menggunakan dasar UU KPK yang menyatakan sebagai lembaga bersifat independen dari pengaruh kekuasaan mana pun. UU itu dengan jelas memberi kekuatan untuk bebas dari kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, atau pihak lain. Bebas dalam situasi dan alasan apapun dalam memproses kasus hukum, begitu undang-undang menegaskan.
Menghadapi penolakan itu, DPR mengancam melakukan proses hukum. Alasannya KPK menghina parlemen. Sembari itu bersikeras mengirim surat kedua untuk menghadirkan Miryam. Bila hingga surat ketiga KPK tak sudi menghadirkan, DPR akan meminta polisi memanggil paksa.
Belum juga permintaan pemanggilan paksa dilakukan, Kapolri Tito Karnavian menyatakan penolakan. Tito beralasan hukum acara KUHAP tak mengatur soal itu. Dia melihat ada kerancuan hukum bila melaksanakan ancaman para wakil rakyat itu.
Penolakan KPK juga Kapolri patut diapresiasi. Tak sepatutnya parlemen mengintervensi proses hukum yang tengah dilakukan. Meminjam kata Presiden Jokowi pekan lalu, negeri ini perlu KPK yang kuat, KPK yang independen. Setidaknya untuk saat ini, hanya dengan itu perang melawan kejahatan luar biasa semacam korupsi bisa dimenangkan. Mereka yang ingin KPK lemah, patut diduga satu barisan dengan para garong uang negara.