Media sosial di dalam negeri kian tidak ramah bagi mata, hati dan pikiran kita. Ujaran kebencian dan provokasi dengan bungkus agama terus membanjiri media sosial.
Begitu juga situs-situs internet berpaham garis keras bermunculan seperti jamur di musim hujan. Pesan-pesan kebencian juga terus menyebar melalui grup-grup berbagi pesan di telepon selular kita.
Atas motif yang jelas, samar-samar atau berbalut militansi, ujaran kebencian telah menggores akal budi kita; betapa ada orang mengumbar kebencian pada orang yang berbeda keyakinan, berbeda paham atau berbeda penafsiran agama.
Manusia seolah mengambil hak prerogatif Tuhan sebagai penentu siapa penghuni surga atau neraka, bahkan kadar keimanan orang lain.
Kebencian telah telah menutup nurani dan rasa kemanusiaan, melupakan fitrah umat manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan. Hingga muncul teriakan lantang yang menistakan sesama mahluk Tuhan, bahkan dari mereka yang tidak kita sangka-sangka; mereka yang mengaku beragama atau tokoh agama.
Mereka meneriakkan nama Tuhan ketika membenci, menyitir kitab suci ketika memusuhi.
Teror bom di gereja Samarinda akhir pekan lalu menjadi puncak kepedihan. Bocah tak berdosa menjadi tumbal angkara murka pembenci kehidupan, yang dengan bangga mengenakan pakaian bertuliskan jihad sebagai jalan hidupnya.
Mereka ingin dicintai Tuhan dengan cara membenci sesama makhluk Tuhan. Sejatinya, mereka telah berganti Tuhan.
Tuhan mereka adalah kebencian, jihad mereka adalah kekerasan.
Lebih menyedihkan, banyak orang diam—termasuk mereka yang menganggap diri sebagai tokoh panutan umat. Sementara kebencian dan hasutan terus merasuk ke otak, syaraf, hati hingga darah para anak muda.
Kita khawatir masa depan Indonesia bakal suram kembali ke kegelapan, ketika kebencian dan hasutan terus dibiarkan.
Kebhinnekaan Indonesia benar-benar dalam ancaman.