Musi Rawas, BP — Barangkali belum pernah ada yang membayangkan, sebuah wilayah yang tergolong tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) seperti Musi Rawas Utara (Muratara) justru mencatatkan namanya dalam peta sastra Indonesia melalui karya biografis berbentuk puisi.
Itulah yang terjadi dalam peluncuran dan bedah buku Ziarah Tanah Beselang karya Tampu Bolon Suvardi, Sabtu (27/7/2025) di Kafe Amazing Riverside. Buku ini memuat puisi-puisi yang tidak hanya menjadi ekspresi personal, melainkan juga penandaan kultural tentang tanah kelahiran penulisnya: Muratara.
“Saya menulisnya karena saya menyukai puisi dan karena saya mencintai tanah kelahiran saya sepenuh hati,” ujar Suvardi dalam sesi diskusi yang hangat, menyentuh, dan penuh nuansa lokal.
Bedah buku yang dihadiri sekitar 30 peserta dari Lubuklinggau, Musi Rawas, dan Muratara ini menghadirkan akademisi Dr. Rusmana Dewi sebagai pembahas utama. Menurutnya, Ziarah Tanah Beselang adalah referensi sastra penting yang menyuarakan identitas Muratara secara intim dan puitik.
“Ini satu-satunya karya yang dapat dirujuk jika kita ingin mengenal Muratara bukan lewat data statistik, tapi melalui rasa, bahasa, dan sejarah batin,” ujar Rusmana.
Acara ditutup dengan pembacaan puisi oleh Rusmana dan Suvardi sendiri. Tepuk tangan panjang mengiringi akhir malam itu—sebuah malam yang bukan hanya tentang puisi, melainkan tentang keberanian menyuarakan pinggiran, tentang Muratara yang bersuara dari balik senyapnya peta.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Benny Institute, Rumah Kreatif Bernas, Wahid 21, Layang-Layang Organizer, dan Lingkaran. Lewat kerja kolaboratif ini, sastra kembali membuktikan bahwa ia dapat lahir dan tumbuh dari manapun, termasuk dari tanah yang disebut 3T.
Selamat, Suvardi. Selamat, Muratara. Selamat datang dalam peta kebudayaan Indonesia. (rel)