in

Mencari Akar sebuah Bangsa

Meksiko dilahirkan tiga kali, demikian ungkap novelis Carlos Feuntes. Kelahiran pertama diawali hancurnya kebudayaan Indian pra-Kolombia, yang ditandai munculnya kolonialisme. Kelahiran kedua terjadi saat perang pembebasan melawan Spanyol. Adapun kelahiran ketiga adalah ketika revolusi yang pecah di awal abad XX melahirkan Meksiko sebagaimana yang dikenal sekarang. Oleh Juan Rulfo, dua kelahiran Meksiko dihadirkan dalam novelnya berjudul Pedro Paramo.

BERBEDA dari Gabriel Garcia Marquez dan Jorge Louis Borges yang sudah dikenal oleh pembaca Indonesia, nama Juan Rulfo masih asing. Juan Rulfo memang tidak seproduktif penulis Amerika Latin lainnya. Karyanya pun sering luput dari jangkauan radar para penerjemah atau penerbit Indonesia. Di sepanjang hidupnya, Rulfo hanya menghasilkan dua karya, yaitu kumpulan certa pendek El Llano en Llamas (1953) dan novel Pedro Paramo yang terbit pada tahun 1955.

Walaupun hanya menghasilkan dua karya, oleh Susan Sontag, Juan Rulfo ditahbiskan sebagai penulis legendaris Amerika Latin bagi pengarang selanjutnya. Karyanya juga disebut membawa suara yang memiliki orisinalitas dan otoritas yang berbeda dari karya-karya sastra Meksiko sebelumnya.
Novel karya Juan Rulfo ini berpusar di sekitar dua tokoh: Pedro Paramo dan Juan Preciado. Sebagaimana wasiat ibunya, Juan Preciado mesti mencari seseorang bernama Pedro Paramo di sebuah kota yang disebut Comala. Demi menemui laki-laki yang diyakini sang ibu sebagai bapaknya itu, Juan Preciado menempuh perjalanan panjang dan mengalami petualangan yang tidak biasa. Selain puing kota tua yang sepi dan nyaris mati,  Juan Preciado juga bertemu para saksi masa lalu: hantu.

Perjalanan Juan Preciado merupakan alegori dari perjalanan mencari akar sebuah bangsa yang terkubur selama berabad-abad. Sebelum kedatangan Spanyol, Meksiko memiliki peradaban Indian pra-Kolombia (Maya dan Inca) yang terisolasi dari perabadan dunia lainnya. Sampai akhirnya datanglah kolonialisme Eropa yang diwakili  Spanyol. Kedatangan yang berdampak pada hancurnya kebudayaan Indian pra-Kolombia hingga tak bersisa apapun, kecuali artefak-artefaknya.
Satu di antara sekian unsur kebudayaan yang hancur tersebut adalah bahasa penduduk pribumi, yang kemudian digantikan oleh bahasa penakluk (Spanyol). Penghancuran inilah yang membuat orang-orang Meksiko, diwakili Juan Preciado, tidak lagi memiliki akar. Alhasil, untuk menunjukkan jati dirinya, Juan Precido sebagai orang Meksiko terpaksa menggunakan nama berbahasa Spanyol.

Dalam novel ini, sang ibu adalah alegori tanah Meksiko. Adapun Juan Preciado merupakan anak hasil kawin-paksa sang ibu dengan Pedro Paramo (alegori Spanyol). Dengan alur maju-mundur, pembaca dibawa menelusuri sejarah kota Comala sekaligus kebengisan sebuah kekuasaan kolonial.

Satu hal yang menarik dari novel ini adalah cara Juan Rulfo menarasikan masa lalu. Dia menggunakan sosok hantu-hantu yang berkeliaran di kota Comala. Boleh dikatakan, hantu-hantu ini merupakan alegori terhadap dua hal. Pertama, dalam Manifesto Komunis disebutkan bahwa ada hantu berwujud komunisme di Eropa. Sementara itu, sampai sekarang, Meksiko masih dihantui oleh kolonialisme Spanyol yang telah menghancurkan kebudayaan nenek moyangnya. Kedua, hingga hari ini pula, akar Meksiko masih sulit ditemukan karena kondisi bangsa ini yang tidak jauh berbeda dengan hantu-hantu gentayangan. Meksiko, yang dikenal dengan kebudayaan mestizo-nya, adalah bangsa yang kebudayaannya merupakan campuran Spanyol dan pribumi. Layaknya produk kebudayaan hibrid, akar Meksiko tidak pernah membumi. Ia tidak pernah sampai pada kebudayaan Indian pra-Kolombia.

Hantu dalam novel ini juga merupakan simbol perlawanan terhadap modernitas yang bertumpu pada rasionalitas yang dibawa Spanyol (Barat) ke tanah Meksiko. Barat berpegang pada pandangan filsuf Immanuel Kant bahwa akal adalah yang utama. Dengan begitu, apapun yang tidak bisa dibuktikan oleh akal adalah tahayul. Lewat tokoh hantu dalam novelnya, Juan Rulfo ingin menyampaikan bahwa Meksiko punya cara berpikirnya sendiri. Dengan kata lain, dia menolak pemikiran yang dibawa Barat ke negerinya, yang digunakan untuk menggambarkan sejarah nenek moyangnya. Apa yang dikerjakan Rulfo inilah yang kemudian melahirkan genre baru dalam dunia sastra Amerika Latin, yaitu realisme magis.

Novel Pedro Paramo mengajak pembaca untuk mengetahui sejarah Meksiko melalui perspektif non Eropa. Dengan gaya surealis, pembaca diajak mengikuti alur kisahnya dengan penuh kehati-hatian agar tidak tersesat. Perubahan sudut pandang yang kerap terjadi di tengah-tengah cerita memang mampu membuat pembaca kebingungan. Pedro Paramo adalah novel yang menantang untuk dibaca.

Terbitnya karya Juan Rulfo dalam bahasa Indonesia tentu menambah perbendarahaan karya sastra terjemahan yang bermutu bagi pembaca Indonesia. Selain itu, novel ini juga menawarkan sesuatu yang cocok dibaca di tengah hingar bingar persoalan dunia nyata dan maya yang mampu membuat kita lupa diri. “[Ada] banyak keheningan dalam tulisanku,” demikian ujar Juan Rulfo. Keheningan. Sesuatu yang sangat kita butuhkan, tapi entah mengapa begitu langka akhir-akhir ini. (*)

* Novelis dan esais.
Tinggal di Yogyakarta

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Motor Listrik Karya Anak Bangsa Rp 16 Jutaan

Mitsubishi Xpander Bisa Servis di Bengkel Truk