Sosok direktur utama mungkin bisa menimbulkan kesan sangat berkuasa di perusahaan. Termasuk, berkuasa memerintahkan keluarnya uang. Memang ada yang begitu. Tapi, ada juga Dirut yang kalah kuasa dengan pemilik perusahaan.
Masih ada lagi jenis Dirut yang lain. Yakni yang justru tidak mau melibatkan diri dalam proses di keuangan. Saya tergolong Dirut yang terakhir itu. Tidak mau mengurus manajemen keuangan.
Sudah sejak di Jawa Pos begitu. Begitu juga di PT PWU. Dan juga kemudian di PT PLN. Mengapa? Saya ini menyadari sesadar-sadarnya bahwa background saya adalah wartawan. Background sebelum itu adalah aktivis kampus. Saya tidak pernah mendalami masalah keuangan. Tidak ahli keuangan. Saya hanya sebatas mengerti keuangan. Karena itu, saya tidak pernah mau ikut menandatangani cheque, tidak pernah mau membubuhkan acc di proses pencairan uang dan selalu minta bagian atau direktorat keuangan untuk mandiri dari intervensi, termasuk intervensi dari atasan.
Memang saya kadang membubuhkan disposisi di proses pengajuan dokumen permintaan uang. Tapi itu sebatas disposisi agar diproses. Bukan disposisi agar dicairkan. Untuk pencairan dana (atau pengeluaran cek), harus ada satu proses berikutnya: verifikasi dokumen, kebenarannya, prioritas atau bukan, ada dana atau tidak dan seterusnya. Semua proses ini ada di direktorat keuangan. Baru uang bisa keluar atau ditolak.
Seandainya uang kemudian keluar, tugas bagian keuangan juga untuk menagih dokumen administrasi pertanggungjawabannya. Saya tidak pernah mau melibatkan diri di proses ini. Dirut yang seperti itu kadang harus malu. Kadang diejek: Dirut apa itu kok tidak berkuasa. Tapi, saya memang memilih tidak terlihat berkuasa. Tidak apa-apa.
Di PWU konsentrasi saya penuh untuk bidang yang paling sulit: bagaimana pabrik yang bobrok-bobrok itu bisa diperbaiki. Tidak mudah. Memerlukan ide, kiat, kerja keras, dan kontrol yang terus-menerus. Siang dan malam.
Hampir setiap malam, setelah bekerja di Jawa Pos, saya keliling pabrik-pabrik milik PT PWU. Pabrik karet, pabrik kulit, pabrik genting, pabrik es, pabrik kain kasa dan banyak lagi. Yang semuanya sulit: mesinnya kuno, tenaganya menua, fisik pabriknya reyot, dan produksinya tidak bisa bersaing.
Pabrik karet di Ngagel, misalnya, kumuhnya bukan main. Keuangannya begitu sulit. Karyawannya begitu banyak. Kualitas produksinya begitu menyedihkan. Jam 01.00 tengah malam saya ke sana. Sedih sekali. Gelap.
Saat tengah malam itulah saya menemukan ide: akan saya larang pabrik itu memproduksi apapun kecuali satu jenis produk saja. Banyaknya jenis produksi saat itu bikin ruwet saja. Produksi karet gelang, misalnya, terlalu njelimet dan uangnya kecil. Saya panggil manajemen. Tidak boleh lagi memproduksi macam-macam. Satu saja. Anda pilih sendiri. Biar fokus.
Akhirnya, mereka memilih hanya memproduksi karet untuk bumper sandaran kapal di pelabuhan. “Bagus,” kata saya. Hentikan produksi yang berpuluh-puluh macam karet itu. Fokuslah di satu produk itu. Barangnya tidak rumit, besar-besar, harga per satuannya tinggi, pesaingnya sedikit.
Memang karyawan demo karena banyak yang menganggur. Tapi, itulah tonggak kebangkitan pabrik karet Ngagel. Tahun berikutnya saya izinkan menambah satu jenis produk lagi: lapisan karet untuk pipa tambang emas.
Sekarang pabrik karet yang reyot itu ditinggalkan. Bangun pabrik karet baru yang modern. Bahkan menjadi satu-satunya pabrik steel conveyor belt di Indonesia. Bisa mengurangi ketergantungan pada impor.
Hal-hal seperti itulah yang harus lebih saya perhatikan. Untuk mencari uang. Bukan mengurus uang. Mengurus uang itu, untuk perusahaan sekelas PWU waktu itu, sangat gampang. Tidak perlu saya. Cari saja orang yang hati-hati, teliti, njelimet, cerewet, dan jujur. Di PWU saya merasa sudah punya orang yang seperti itu.
Seperti halnya pabrik karet, pabrik kulit yang ada di A Yani juga sulit. Berbau, kumuh, dan reyot. Saya putuskan untuk ditutup. Pindah ke Pasuruan. Jadi satu dengan pabrik kulit yang ada di sana. Yang kondisinya juga ampun-ampun. Lokasi aset yang strategis bekas pabrik kulit itu lantas kami bangun gedung Jatim Expo (JX International) yang gagah itu.
Seandainya saya ikut mengurus keuangan, saya tidak akan mampu memikirkan semua itu. Saya memang biasa lebih menekuni bidang “mencari uang” untuk kemajuan perusahaan daripada “mengatur uang”-nya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.