in

Menelusuri Basis Perjuangan di Sumbar

Kurang Terawat, Butuh Sentuhan Pemda 

Setelah 72 tahun Indonesia merdeka, bagaimanakah potret basis perjuangan di Sumbar. Dari sekian banyak basis perjuangan, Padang Ekspres mengetengahkan tiga basis perjuangan yang dinilai ikut memberi warna dalam sejarah bangsa ini.  

Menjadi bangsa terjajah, jelas sangat menderita. Itulah yang dirasakan masyarakat Kotopulai, Nagari Kambang Timur, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel). Salah satu kampung bersejarah di Pessel yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) itu, dulunya perkampungan di tengah hutan. 

Mengingat letaknya strategis dan sulit dijangkau, jadilah kampung ini basis pertahanan bagi para pejuang. Di sini pulalah, pertama kali para pejuang mencetuskan pencetakan uang yang ditujukan untuk membiayai perang melawan penjajah Belanda.

Uang yang dicetak dalam rentang waktu 1945-1949 itu, diberi nama Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) Lengayang. Percetakan uang itu dilakukan di salah satu rumah milik warga di Kampung Koto Pulai, Nagari Kambang Timur. 

Kini, sisa-sisa kejayaan Kampung Koto Pulau masih ditemukan dengan potensi terbesarnya sektor perkebunan, pertanian dan peternakan. Di mana, komoditi unggulannya berupa karet, kakao, gambir, durian, padi dan lainnya.  

Akses jalan ke kampung berada di hulu Batang Kambang atau berjarak sekitar 20 kilometer dari Pasar Kambang, Ibu Kota Kecamatan Lengayang itu, cukup mudah. Sebab, ruas jalan sudah tersentuh aspal hotmit.

Kejayaan eks-pusat ibu kota Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci Seblat (PSK) yang diperintah Bupati Militer Aminuddin St Syarif itu, masih tersimpan di benak Buya H Rusli Nur, 88, salah seorang pelaku sejarah yang ikut berjuang dan terlibat dalam pembuatan ORI Lengayang ketika ditemui di Kotopulai, Selasa lalu (15/8). 

”Terputusnya berbagai akses setelah daerah-daerah strategis dikuasai Belanda waktu itu, membuat perkampungan ini terisolasi. Kemiskinanpun menjadi merajalela,” katanya kepada Padang Ekspres.  

Perihal pembuatan ORI Lengayang, menurut dia, dicetak pertama kali Desember tahun 1948 di rumah H Tinta, di Kampung Kotobaru menjelang pasar atau Balai Kamis. ”Anggota percetakan uang Lengayang ini berjumlah 20 orang, termasuk saya sendiri.

Saat itu, saya bersama 20 anggota percetakan masih berstatus pelajar setingkat SMP. Namun, rata-rata umur kami sudah di atas 17 tahun,” terangnya. Ke-20 orang ini juga tergabung dalam Tentara Pelajar (TP) yang bermarkas di Kampung Akad, Nagari Kambang Induk. 

Kesulitan dalam pencetakan uang ketika itu, menurut dia, adalah keterbatasan kertas dan cat. Kedua bahan ini sering putus. Untuk pengganti cat dipakai pensil kopieh. Untuk mendapatkan dawatnya, direndam ujungnya ke dalam air panas, lalu dituliskan. Sedangkan pengganti cat lainnya adalah gincu warna merah. 

Untuk mengabadikan sejarah itu, tahun 2004  lalu dibangunlah tugu perjuangan di Kampung Koto Pulai, Nagari Kambang Timur, tepatnya di gerbang menjelang memasuki kampung itu yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Pasar Kambang. 

Wali Nagari Kambang Timur, Sondri KS, kepada Padang Ekspres, Selasa (15/8) menyayangkan banyaknya peninggalan bersejarah itu seakan ditinggalkan begitu saja. ”Bahkan rumah bekas tempat percetakan uang dan bekas kantor Bupati PSK ini, dijadikan masyarakat sebagai tempat mengaji. Tidak ada dokumen dan peralatan lain yang tersisa di rumah ini, kecuali ruangan kosong dan tikar anak-anak mengaji,” ungkapnya. 

Biar begitu, menurut dia, berbagai infrastruktur untuk menunjang kebutuhan masyarakat dari berbagai sektor sudah mendapat perhatian pemerintah.  ”Semua sarana itu telah bisa dinikmati oleh 2.530 jiwa penduduknya,” ungkap Sondri. 

Kotogadang Kampungnya Agus Salim

Keberadaan Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, juga menyisakan sejarah tersendiri. Di sinilah, basis perjuangan yang disuarakan ”Kartini” asal Sumbar Roehana Koeddoes, di samping itu di sinilah tanah kelahiran salah seorang Pahlawan Nasional asal Sumbar Haji Agus Salim.

Tidak sulit menemukan rumah kelahiran Haji Agus Salim. Hanya sekitar 30 menit dari pusat Kota Bukittinggi. Melewati jalan menurun ke arah Ngarai Sianok yang juga jalur alternatif ke Simpang Panta, akan ada persimpangan khusus ke Nagari Kotogadang.

”Tidak jauh dari persimpangan Kantor Wali Nagari Kotogadang akan tampak sebuah mushala berwarna hijau putih. Di depannya ada gang seukuran mobil roda empat. Masuk ke gang itu, akan tampak sebuah rumah gadang. Nah, di sampingnya itulah rumah Haji Agus Salim,” terang pria paruh baya yang dijumpai di pinggir jalan raya.

Mushala bercorak putih hijau yang diisyaratkan warga itu ternyata dikenal dengan Surau Hilia. Mushala inilah tempat dulunya Haji Agus Salim belajar mengaji semasa kecil. Kini bangunan tua itu pun masih utuh berdiri. Kendati telah sekian kali mengalami renovasi, bangunan berciri khas kolonial itu masih mempertahankan sejumlah sisi orisinal.

Kasi Kesra Nagari Kotogadang, Riko Aries Saputra yang menemani Padang Ekspres menelusuri rumah kelahiran Haji Agus Salim menuturkan, sosok pahlawan nasional itu masih menjadi panutan sekaligus kebanggaan bagi penduduk setempat.  ”Umumnya, warga masih mengidolakan sosok Haji Agus Salim,” tutur Riko.

Rumah semi permanen berdinding batu dan berlantaikan kayu yang disebut-sebut rumah Haji Agus Salim itu dihuni sepasang suami istri. Buk Teti dan keluarga kecilnya sudah hampir 26 tahun merawat rumah Haji Agus Salim.

”Rumah ini cukup ramai dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara. Rinciannya dapat dilihat di buku tamu. Keluarga keturunan Haji Agus Salim juga masih sering pulang ke rumah,” tutur Bu Teti, penjaga rumah sosok pahlawan nasional yang terlibat dalam Panitia Sembilan, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) itu.

Guru Besar Sejarah Unand, Profesor Gusti Asnan dihubungi via ponselnya, Selasa (15/8), menuturkan Nagari Kotogadang adalah kampung kecil di dekat Bukittinggi, yang sejak abad ke-17 mendapat pendidikan sekuler dari negara barat. Pribumi Kotogadang rata-rata ahli di bidang ilmu yang mereka tekuni.

”Banyak yang menjadi guru di masa itu, mantari (dokter hewan), jaksa dan pengusaha hebat. Bahkan, pertengahan abad ke-19 ada saudagar terkaya di Sumatera Tengah bernama Abdul Gani yang berasal dari Kotogadang. Sementara Haji Agus Salim juga berasal dari keluarga terpelajar. Ayahnya seorang jaksa di Riau. Kombinasi pendidikan sekuler dan Islami inilah yang menjadikan Haji Agus Salim menjadi sosok luar biasa. Pamannya adalah khatib di Masjidil Haram,” terang penyandang gelar doktor Universitas Bremen, Jerman ini.

Sastrawan dan kritikus Sumbar, Darman Moenir melalui komentar singkatnya via telepon, Selasa (15/8), menyebutkan, adanya efek sejarah yang begitu membekas di Nagari Kotogadang atas keberhasilan sosok Haji Agus Salim.

”Di samping tokoh nasional lainnya seperti Roehana Koeddoes, label Nagari Kotogadang sebagai penghasil tokoh besar makin tak terbantahkan atas jasa-jasa Haji Agus Salim. Masa mengaji ke surau di waktu kecil, belajar silat dan petatah petitih telah mendarah daging bagi cendekiawan Minang umumnya. Setidaknya itu tergambar dari keahlian bersilat lidah khas Haji Agus Salim,” katanya.

Memperingati sejarah kemerdekaan, menurut pendiri Rumah Bako ini, sejatinya mewariskan kembali semangat perjuangan para pahlawan. ”Semoga Nagari Kotogadang tetap memperkenalkan sosok Haji Agus Salim dan Roehana Koeddoes bagi generasi penerus untuk menggapai cita-cita.  

Tiga Pejuang asal Pasaman

Salah satu basis perjuangan yang tak kalah pentingnya di Sumbar, terdapat di Kabupaten Pasaman. Di sini, paling kurang terdapat tiga pejuang yang sering diperbincangkan masyarakat, masing-masing Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Raja Sontang.

Andalusia, salah seorang cicit keturunan ke-13  Raja Sontang menyebutkan, Raja Sontang merupakan salah seorang pejuang kemerdekaan semasa penjajahan Belanda di Pasaman. Kendati sama-sama berpengaruh dengan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao, cuma Tuanku Imam Bonjol tercatat sebagai pahlawan nasional. ”Padahal, mereka sama-sama berjuang mengusir Belanda dengan lokasi dan daerah sama,” kata Andalusia kepada Padang Ekspres. 

Dari segi peninggalan benda sejarah pun, tambah dia, keberadaan Raja Sontang masih bisa dibuktikan. Salah satunya, rumah Raja Sontang yang sudah berumur ratusan tahun dan beberapa tempat Raja Sontang beraktivitas. 

Namun, sekarang ini peninggalan Raja Sontang itu jauh dari kata terawat. ”Jika pemerintah daerah bisa berbuat, tentu ini merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat Pasaman. Serta, bisa mengharumkan nama baik Sumbar dalam hal budaya dan peninggalan benda bersejarah,” ujar salah seorang tokoh pemuda Pasaman asal Duokoto.

Lain Raja Sontang, lain pula keberadaan Tuanku Rao. Amran Dt Jorajo, seorang yang berkegiatan mempelajari sejarah peradaban orang Rao mengatakan, Tuanku Rao adalah panglima perang dan tokoh Paderi terkemuka yang gigih melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda di wilayah Pasaman, Kotanopan, Padang Lawas, hingga Padang Sidempuan.

Ketokohan Tuanku Rao telah terpahat di hati dan menjadi kebanggaan setiap orang Rao. Atas jasa Tuanku Rao orang-orang Rao, Tapanuli dan kawasan sekitarnya sampai sekarang beragama Islam dan masih mengaji dengan menggunakan bahasa Rao.

Amran menambahkan, dalam karangan beberapa buku menyebutkan bahwa Tuanku Rao lahir dari keturunan Batak, sedangkan buku yang lain menceritakan bahwa Tuanku Rao lahir dari keturunan Melayu. 

Soal sejarah perjuangan Tuanku Imam Bonjol, Amran Dt Jorajo menyebutkan, banyak bukti peninggalan sejarah dijumpai di Bonjol, di antaranya Benteng Bukit Tajadi beserta isinya, seperti dapur umum yang sudah merimba, belum ada dibenahi sama sekali. Kalau pun juga pemerintah tidak mengabaikan bukti sejarah tersebut.

Hampir seluruh bukti tersebut ditumbuhi semak belukar tidak terpelihara sama sekali. Satu-satunya bukti sejarah yang bisa dilihat saat ini hanya tugu yang terletak sekitar kawasan Benteng. Itupun telah rapuh karena tidak ada yang merawat.

Bupati Yusuf Lubis dalam pagelaran 1821 Meriam Bambu di Bonjol beberapa bulan lalu, pernah menegaskan bahwa Pemkab Pasaman memberi perhatian sangat besar terhadap pelestarian seni budaya, salah satunya tradisi Pagelaran Meriam Bambu (Badia-badia Batuang).

”Hal ini mengingatkan kita kepada perjuangan pahlawan kita dulunya berasal dari Bonjol, yakni Tuanku Imam Bonjol,” kata Bupati Pasaman. 

Kurangnya perhatian pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam memajukan daerah-daerah basis perjuangan dan perawatan terhadap peninggalan zaman perjuangan di sejumlah wilayah Sumbar, mendapat perhatian tersendiri dari Profesor Gusti Asnan. 

”Secara umum, perhatian pemerintah provinsi mengalami pasang surut, situasi itu ditimbulkan karena pemerintah pusat juga berlaku demikian, sehingga kesadaran itu mulai hilang,” sebutnya kepada Padang Ekspres, Selasa (15/8) lalu.

Dampak kurangnya perhatian pemprov tersebut, sambung Gusti Asnan, membuat perhatian pemerintahan kabupaten/kota terhadap daerah basis perjuangan yang ada di daerahnya juga menurun. ”Seharusnya situs-situs itu dirawat dan dilestarikan, sehingga anak cucu kita juga mengetahui bagaimana sejarah daerahnya,” ujar dia. (*) 

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Menristekdikti siap pangkas regulasi untuk hilirisasi riset

SPH Kembangkan Bedah Minimal Invasif