Pekerjaan dan Gaji tak Sesuai Janji
TKI menyimpan beragam kisah. Ada sukses, ada duka. Koran ini menelusuri ragam kisah yang berliku itu. Melihat detak kehidupan kampung TKI di Malaysia hingga 30 jam berlayar bersama para TKI yang dideportasi ke Indonesia. Berikut laporannya.
Gambar yang tersebar di media massa itu begitu memilukan. Sembilan tubuh dengan baju koyak tergeletak di pantai Johor, Malaysia. Tak berdaya, tak bernyawa. Hasil investigasi menyebut, mereka adalah para tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang menyelinap ke Malaysia.
Namun, peristiwa memilukan pada akhir Januari 2017 itu bukan yang pertama. Bukan pula yang kedua atau ketiga. Tapi, sudah berulang-ulang terjadi sebelumnya. Tak terhitung jumlah para pencari kerja yang harus meregang nyawa karena dihempas gelombang laut di perairan Malaysia.
Windary, 42, adalah saksi hidup bagaimana kerasnya perjuangan menyabung nyawa di tengah laut. Saat itu 1989, usianya baru 13 tahun. Win, sapaan akrabnya, masih ingat betul detik-detik menegangkan saat nyawanya hampir melayang di Selat Melaka.
“Siang sebelum menyeberang, kami bersembunyi di tengah hutan. Malamnya, kami naik tongkang,” kisahnya saat ditemui koran ini di Klang Lama, salah satu basis kampung TKI di Kuala Lumpur, Malaysia, beberapa waktu lalu.
Entah berapa jam Windary dan puluhan penumpang lainnya terombang-ambing di atas kapal tongkang saat berlayar dari Dumai, Riau, menuju Melaka, Malaysia. Yang jelas, seorang awak kapal menyebutkan bahwa pukul 03.00 dini hari, mereka harus turun.
Bukan di pantai, tapi masih di perairan setinggi dada orang dewasa. Alasannya, untuk menghindari patroli otoritas Malaysia. Dengan tinggi anak usia 13 tahun, kepala Win langsung kelelep saat masuk air. Dia memang tidak bisa berenang. Napasnya tersengal saat air laut mulai masuk ke mulutnya.
Di tengah panik yang mendera, tiba-tiba seorang penumpang menarik tangannya, lalu menggendongnya. Beberapa waktu kemudian, Win baru tahu nama penolongnya adalah Gatot. “Dia sampai mengangkat saya di atas kepalanya agar tidak tenggelam,” kata perempuan asal Tuban itu mengenang.
Mendekati pantai, Gatot menurunkan Win. Tetapi, perjuangan belum usai. Begitu turun, Win harus melewati lumpur untuk sampai ke daratan. Langkah demi langkahnya melewati lumpur itu adalah langkah berdarah-darah yang tak pernah bisa dia lupakan.
“Begitu masuk lumpur, crep… crep…crep, kaki saya langsung tertusuk karang tajam. Yang saya ingat hanya perih luar biasa. Ini bekas lukanya masih ada,” kata Win sambil menunjukkan bekas luka di telapak dan pergelangan kakinya.
Sampai di daratan, Win dan teman-temannya langsung masuk truk dan menuju sebuah rumah. Di rumah itu, Win dijemput majikannya. Ternyata, pekerjaannya bukan menjaga toko seperti yang dijanjikan, tetapi menjadi pembantu rumah tangga. Gajinya pun tidak sampai RM 1.200 (ringgit Malaysia), tapi hanya RM 250.
Selama di Malaysia, banyak kisah yang dilalui Win. Dia pernah kembali ke Indonesia setelah dibantu majikannya mengurus dokumen imigrasi. Lalu, kembali ke Malaysia melalui jalur resmi dengan dokumen lengkap.
Kini, dia tinggal di Klang Lama bersama beberapa TKI lain, bekerja sebagai housekeeper. Tugasnya adalah membersihkan perkantoran di Kuala Lumpur.
Kisah lain disampaikan Sorya, 37. Perempuan asal Pekalongan itu masuk Malaysia pada 2001 melalui agen TKI. Pekerjaan pertamanya adalah pembantu rumah tangga.
Dia mengatakan, beban kerjanya begitu banyak. Mulai membersihkan rumah, mencuci baju, menyetrika, hingga memasak. “Saya tidak bisa beristirahat. Makan hanya sekali, roti dan teh manis. Saya juga beberapa kali dianiaya,” ujarnya.
Soraya lalu melaporkan perlakuan itu kepada agen di Malaysia yang menyalurkannya dan meminta penempatan baru. Bukannya mendapat perlindungan, justru pukulan yang diterimanya. Dengan wajah lebam, dia lari ke kantor polisi dan melaporkan tindak penganiayaan yang dialaminya. Dia tidak tahu bagaimana tindak lanjut laporannya.
Kapok, Soraya pun pulang kampung ke Pekalongan. Pada 2006 dia kembali ke Malaysia. Kali ini, dia berangkat sendiri dengan visa pelancong. Karena itu, statusnya saat ini adalah overstayer alias TKI ilegal. Selain izin tinggalnya sudah habis, dia tidak memiliki izin atau permit kerja.
Soraya mengatakan, pemerintah Malaysia beberapa kali mengadakan program pemutihan melalui pemberian permit kerja bagi tenaga kerja asing ilegal.
Namun, dia tidak berminat. Alasannya, biayanya sangat besar, hingga RM 4.000 atau sekitar Rp 12 juta (kurs 1 ringgit sekitar Rp 3.000). Sementara itu, gajinya sebulan hanya RM 1.250 (sekitar Rp 3,7 juta).
Sebenarnya, dia pernah mengurus permit kerja. Uang RM 5.000 diserahkannya kepada orang yang disebut bisa membantu. Namun, rupanya orang itu hanya menipu. Uang lenyap, permit pun tak didapat.
“Makanya, saya tidak mau ikut lagi, biar saja seperti ini,” ujar perempuan yang tinggal di kawasan Bangsar, Kuala Lumpur, tersebut. Tanpa permit pun, lanjut Soraya, dirinya masih bisa bekerja meski harus kucing-kucingan menghindari petugas imigrasi Malaysia.
Kini, dia bekerja sebagai housekeeper apartemen di Klang Lama. Motivasi terbesarnya adalah membiayai kuliah anak semata wayangnya di Indonesia. Apalagi, dia sudah bercerai dengan suaminya. “Saya ingin anak bisa lulus kuliah biar nasibnya lebih baik daripada saya,” ucapnya.
Malaysia memang menjadi target TKI. Selain jaraknya yang dekat, jalur masuknya beragam. Selain itu, di sana sudah ada jutaan TKI lain yang siap saling membantu untuk menampung. Saat ini jumlah TKI legal yang memiliki izin kerja di Malaysia sekitar 1,9 juta orang.
Namun, jumlah TKI ilegal tidak pernah bisa dikalkulasi dengan tepat. Ada yang menyebut jumlahnya 1,3 juta orang. Tetapi, ada yang memperkirakan jumlahnya lebih dari 2 juta orang.
Asroni termasuk salah seorang TKI yang sering menyediakan penampungan untuk TKI yang baru datang dari Indonesia. Pria asal Malang itu bercerita, dirinya masuk secara ilegal ke Malaysia lewat Dumai, lalu menyeberang ke Selangor pada 1990.
Di sana, dia bertemu dengan banyak TKI lain. Beragam pekerjaan sudah dijalaninya. Sampai akhirnya, dia diajak kenalannya untuk bekerja di bengkel alat-alat berat. Ketekunan dan kerja keras membuat Asroni kini dipercaya menjadi supervisor.
Enam tahun pertama, dia bekerja tanpa dokumen. Paspor pun tidak punya. Baru pada 1996, dia mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan. Setelah cukup sukses dan punya penghasilan lumayan, Asroni mulai mengajak orang-orang di kampungnya untuk bekerja di Malaysia.
“Setiap pulang, saya cari keluarga dan teman yang nganggur, saya bawa ke sini. Mereka pakai visa pelancong. Di sini baru mengurus permit kerja,” tuturnya.
Namun, ketimbang cerita sukses, lebih banyak cerita pedih yang dialami TKI. Akhir Februari lalu, TKI bernama Jubaedah meninggal di Penang setelah dianiaya majikannya. Polisi Malaysia sudah menahan majikan itu untuk diproses hukum.
Kisah Jubaedah disebut hanya puncak dari gunung es kekerasan terhadap pekerja migran Indonesia di Malaysia. Alex Ong, aktivis LSM Migrant Care Malaysia, mendapat banyak laporan kekerasan fisik hingga seksual yang menimpa banyak sekali TKI.
“Ada masalah superiority complex dan sikap rasis yang suka memandang rendah warga asing, terutama buruh,” ujarnya saat ditemui di Kuala Lumpur.
Alex lantas menceritakan kasus beberapa gadis asal Jawa Tengah yang sedang ditanganinya. Ada sembilan gadis lulusan SMK dari beberapa kota di Jawa Tengah yang mengadu nasib ke Malaysia karena mendapat rekomendasi dari salah seorang guru mereka. Alex mengatakan, mereka semua berangkat untuk bekerja di pabrik kosmetik di daerah Klang.
Namun, mereka ternyata dipekerjakan di industri sarang burung walet Maxim Birdnest (M) SDN. BHD. ’’Ternyata, pabrik kami ini menumpang nama pada pabrik kosmetik,” jelas Dewi, bukan nama sebenarnya, saat ditemui di daerah Klang.
Bukan hanya pekerjaan yang tak sesuai janji, gaji RM 900 per bulan yang dijanjikan juga tidak terealisasi. Mereka hanya menerima RM 400 karena dipotong untuk komisi agen penyalur. Gaji itu pun masih sering dipotong denda jika mereka salah bekerja.
“Kami pernah tidak menerima gaji karena habis oleh potongan. Kami malah berutang karena kena denda juga,” kata Putri, bukan nama sebenarnya, yang ikut bercerita.
Padahal, mereka bekerja lebih dari delapan jam sehari. Mereka pernah bekerja mulai pukul 09.00 dan baru pulang pukul 03.00 dini hari atau 18 jam sehari dengan waktu istirahat minim.
Saat itu perusahaan menambah target pekerjaan sehingga mereka harus lembur. Ironisnya, upah lembur yang menjadi hak mereka dipotong perusahaan sebagai uang makan. Jika tidak mencapai target, gaji mereka juga kembali dipotong.
Tidak terima diperlakukan semena-mena, mereka protes. Namun, mereka justru diancam akan dilaporkan ke polisi karena tidak mematuhi aturan kerja.
Menurut Alex, ancaman memang sering dilontarkan majikan yang mempekerjakan TKI. ’’Mereka tahu anak-anak ini tidak akan berani. Makanya makin ditekan,” kata Alex. (*)
LOGIN untuk mengomentari.